iklan

Monday, June 17, 2013

Resume Hadits Ekoomi 2

BAB I
RIBA

A.      Pengertiann Riba
Riba adalah tambahan dan dalam surat al-Baqarah/2: 275 telah dijelaskan bahwa Allah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba. Jika dilihat dari kegiatannya, antara jual beli dan riba sama-sama mencari keuntunngan, namun esesiya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Dan di arahkan kepada umat islam agar trannsaksi jula beli tidak mendekati riba.
Adapun riwayat muslim yag menjelaskan tentang riba :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh muslim.
قوله : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال : هم سواء ) , هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابين والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على الباطل . والله أعلم
Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang tersebut dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama saja. Yang dimaksud موكله itu adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dan jika keduanya sengaja serta mengetahui riba itu maka dosa bagi mereka.
Dalam suatu riwayat telah dipaparkan, beliau telah mengutuk seorang saksi dengan mufrad  (tungggal) karena dikehendaki jenisnya. Lalu juga kamu katakan hadits yang artinya : S “ Ya Allah apa-apa yang saya kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan dalam matan lain  ”apa yang saya kutuk maka memberatkan orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah dimaksudkann do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.

Itu jika orang yang dikutuk tersebut bukan yang melakkukan perbuatan yang diharamkan dan tahu kutukan itu dalam keadaan Rasulullah marah.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang  normal.
عن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبعوا الورق با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناخر (متفق عليه)
Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya ataupun harganya emas dan perak itu sendiri.

B.       Ancaman Bagi Pelaku Riba
Tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Dan Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman]
Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.
Adapun hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]
Walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.
benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]



BAB II
PEMANFAATAN BARANG GADAI

Islam sebagai agama yang lengkap & sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar & aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah & juga mu'amalah (hubungan antar makhluk). Begitu pula saat seseorang membutuhkan untuk saling menutupi kebutuhan & saling tolong menolong diantara mereka, maka Islam telah memberikan kaidah-kaidahnya. Salah-satunya, yaitu dalam hutang piutang. Islam memberikan perlindungan secara adil atas diri yang berhutang & yang memberi pinjaman. Yaitu adanya pemberlakukan barang gadai sebagai jaminan.
Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan, baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya transaksi gadai di tengah masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. yang kadang tak bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini, yakni adanya perbuatan zhalim & saling memakan harta dengan cara batil.
                       
A.      Barang Jaminan
Borg pada awalnya merupakan alternatif yang diberikan kepada orang yang kesulitan, semntara ia dalam perjalanan. Borg itu ditunjukan untuk penjaminan oleh penghutang kepada pemberi hutang untuk suatu jaminan kepercayaan jika suatu saat penghutang tidak mau atau tidak dapat mebayar hutangnya.
Dan dalam Al-Qur’an pun tidak ada batasan untuk barang yang akan di borgkan, sehingga barang apapun atau hewan apappun dapat dijadikan sebagai borg untuk meyakinkan sesorang dalam memberikan jaminan.

B.       Pemanfaatan Barang Jaminan
Barang yang diborgkan tidak diperbolehkan diambil manfaatnya karena telah dijelaskan dalam hadis bahwa tidak boleh megambil keutungan dari kesulitan orang lain. Karena si penerima borg bukanlah pemilik aslinya sehingga tidak di anjurkan untuk memanfaatkan barang yang di borgkan.
Adapun hadis yang menjelaskan tentang pemanfaat barang jaminan :
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَعَلَى الذِّيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Hewan tunggangan ditunggangi sesuai dengan nafkahnya (baca : biayanya) apabila ia tergadaikan & susunya diminum sesuai dengan nafkahnya apabila ia tergadaikan. Dan atas orang yang menunggangi & meminumnya (menanggung) nafkahnya”.

Berdasarkan hadits ini Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Laits, Al-Hasan & lainnya berpendapat tentang bolehnya bagi orang yang memegang barang sebagai jaminan (gadai) untuk memanfaatkan barang tersebut sepanjang ia menanggung biayanya & barang tersebut berupa kendaraan maupun ternak yang bisa diperah susunya sambil menjaga sikap adil antara penggunaan & biaya yang ia keluarkan.



BAB III
PENAWARAN DALAM JUAL BELI

A.      Etika Penawaran
Penawaran dalam jual beli memang sangatlah di anjurkan agar suatu barang memiliki kepastian harga dan kesepakatan harga antara pejual dan pembeli, penawara ini pun hasurlah suatu barang yang memiliki harga pasti, karena pada prakteknya seorang pejual ingin menjual barangnya dengan harga tinggi sedangkan si pembeli ingin mendapatkan barang tersebut dengan harga yang rendah, maka dari situlah diperlukanya tawar menawar dalam jual beli untuk mendapatkan satu kesepakatan harga yang tidak saling monjolimi.
و حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ
Janganlah kalian mencegat pedagang sebelum sampai di pasar. Janganlah kalian menjual barang yang sedang ditawar orang lain. Janganlah kalian bersaing dalam menawar. Janganlah orang kota tak menjual barang kepada orang dusun. Janganlah kalian menahan air susu unta & kambing dalam kantungnya (hingga tampak besar saat dijual) .. Barangsiapa terlanjur membelinya & memerahnya maka dia mempunyai dua pilihan; jika dia ridla ia boleh menahannya, jika tak ia boleh mengembalikannya dengan menyertakan satu sha' kurma.
Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Selain itu juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shohih.
حدّثنا قتيبة . حدّثنا الليث عن نا فع عن ابن عمر عن النبىّ ص. م. قال : لا بيع بعضكم على بيع بعض. ولا يخطب احدكم على خطبت بعض. قال : وفى الباب عن ابى هريرة وسمرة. حديث ابن عمر حديث حسن صحيح.
Qutaibiah menceritakan kepada kami, Laits menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi saw. bersabda : Janganlah sebagian dari kamu membeli barang yang akan dibeli oleh sebahagian (temanmu) dan janganlah kalian semua berkhitbah atas khitbahnya sebagian (temanmu).

B.       Najsy Dalam Jual Beli
Bentuk penawaran dalam jual beli yang dilarang salah satunya adalah al-Najsy, yang merupakan suatu tindakan atau prilaku sesoranng yang melakukan manipulasi harga.
Adapun hadis yang dengan tegas melarang akan tindakan Najsy :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَنَاجَشُوا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Amr bin sarah, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, dari Sa’id bin Al Musayyab, dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian melakukan najsy.”
Dan untuk kondisi saat ini terdapat beberapa orang berprofesi sebagai najsy, yang kemudian mendapat komisi dari pemilik barang. Barang dari pemilik barang itu yang kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, sehingga komisi dan keuntungan yang di dapat adalah dari komisi dan penambahan harga barang tersbut.
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Rasulullah melarang orang kota untuk menjualkan milik orang pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy, janganlah seseorang menjual atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, dan jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk menceraikan madunya demi memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi)





BAB IV
KEPASTIAN HARGA

Harga merupakan salah satu unsur yang terdaoat dalam transaksi jual beli, yaitu terdapat harga yang jelas dan barang yang akan di perjual belikan. Dan Rasullulah SAW melarang beberapa praktek yang dapat mempengarugi harga baranng dipasaran.
Harga merupakan suatu yang harus dibayarkan dan biasanya harga suatu barang berdasarkan kesepakan anntara penjual dan pembeli. Berbeda dengan harga yang telah ditetapkan dipasar swalayan, disana sudah terdapat ketetapan harga sehingga tidak terdapat permasalahn dalam harga. Namun dipsar tradisional, penetapan hrag sangat tergantung dari pejualn dan pembeli dalam melakukan penawarann harga. Dan harga sangat tergatung pada kemahiran kedua belah pihak dalam kesepakatan.

A.      Jual Beli Dua Harga
هى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه رواه الترمذى
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)
Wajh al-istidlal dari hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadis tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi), cara yang begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit.

B.       Khiyar
            Dalam kenyataanya sekaranng, hak khiyar yang sebenarnya tidak dapat diambil. Dan untuk zaman modern ini, pihak pmbeli secara leluasa dapat memilih dan menetapkan barang dan dengan harga yang disukai, seperti yang terjadi pada swalayan.
Khiyar majlis ialah kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli selama masih berada dalam satu majlis (tempat) atau toko, seperti jual-beli atau sewa menyewa, sebagaimana sabda rasulullah SAW:

اِ ذَا تَبَا يَعَ الرُّ جُلاِ نِ فَلِكُلِّ وَا حِدٍ مِنهُمَا بِلخِيَا رِ مَ لَم يَتَفَرَّ قا.......(رواه البخا ري و مسلم)
“Apabila dua orang melakukan akad jual-beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan….(HR. Bukhari dan Muslim)
            Dalam hadis diatas merupakan salah satu pengaturan khiyar tentang hak khiyar majis. Ia berpendapat bahwa khiyar majis menyamakan dengan akad nikah yang dalam pembicaraannya tidak dapat diselingi dengan pembiacaraan lain, karena jika pembicaraan diseligi oleh pembicaraan lain maka masa khiyar telah berakhir. Namun jika di lihat dari hadis diatas, makna yang lebih tebat adalah berpisah badan bukan pengalihan pembicaan.
            Khiyar majis adalah hak setiap pembeli atau penjual untuk memilih unntuk melanjutkan atau membatalkan akad atau mengurungkan niatnya sepanjang keduanya belum berpisah tempat. Kebersanaan atau belum berpisahnya majelis ini perlu di batasi, jika tempatnya kecil, amak perpisahan yang membatalkan hak khiyar dengann keluarnya pembeli dari tempat tersebut. Namun jika tempat transaksi luas, maka keterpisahan ditandai degan telat berpalingya pembeli dari tempat akad.
BAB V
TINDAKAN PELAKU EKONOMI YANG BERIMPLIKASI PADA HARGA

            Terdapat banyak faktor yang mempegaruhi harga dalam jual belli. Disamping perbandingan anatara tingginya kebutuhan konsumen dengan ketersediaan barang, jika dapat disebabkan oleh tindakan pelaku ekonomi. Dan harga merupakan salah satu unsur yang harus jelas dalam teransaksi jual beli, sehingga tidak menyebabkan penjual atau pembeli merasa ada permainan harga.

A.      Mencegat Penjual Di Jalan
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari)
            Tempat transaksi yang biasanya dipakai dan bertemunya anatar pemilik atau pemasok barang dengan pembeli adalah dipasar jadi tidak sah hukumnya jika terjadi penjegatan penjual dijalan yang kondisinya si penjual sudah hampir masuk pasar, atau sudah tepat berada dipintu pasar.
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli.
حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الرَّقِّيُّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ فَإِنْ تَلَقَّاهُ إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوقَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ وَحَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ كَرِهَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ تَلَقِّي الْبُيُوعِ وَهُوَ ضَرْبٌ مِنْ الْخَدِيعَةِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِنَا
Melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai di pasar, maka jika ada orang yang mencegatnya lalu membelinya maka pemilik barang dagangan (penjual) berhak khiyar jika ia bermaksud mendatangi pasar. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih gharib dari hadits Ayyub sedangkan hadits Ibnu Mas'ud adl hadits hasan shahih.
Sekumpulan ulama memakruhkan mencegat barang dagangan sebelum sampai di pasar, ini adalah salah satu dari penipuan, ini adl pendapat Asy Syafi'i & selainnya dari sahabat kami.

B.       Simsar (Calo) Dalam Jual Beli
Simsar/calo merupaka salah satu yang mempengaruhi tinggi rendahnya harga jual suatu barang, dan kebradaan calo ini dilarang dalam jual beli
كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : " يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
     “Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)   
       Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa Rasulullahshallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang. 

C.       Menuimbun/Monopoli (Ihtikar)
Sabda Rasulullah SAW:
وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ :لا يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ. )رواه مسلم(
Artinya:
“Dari Ma’mar bin Abdullah r.a. dari Rasulullah SAW beliau bersabda: Tidaklah yang menimbun itu, agar barang naik, kecuali orang yang bersalah.”(HR Muslim).
يَحْتكِر : Menimbun
خَاطِىءُ : Orang yang melakukan kesalahan (dosa)
وعن أبى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من احتكر حتكرة يريدان يغلى ها على المسلمين وهو خا طئ (رواه أ حمد).
Artinya: “ Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang menimbun serta timbun (barang) dengan maksud menaikkan harga bagi kaum muslim, maka orang itu adalah barsalah (berdosa).” (H.R. Ahmad).



BAB VI
OBJEK JUAL BELI

A.      Objek Jual Beli Yang Di Haramkan
Di antara jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu menjual barang yang diharamkan.
Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya. Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung. Barangsiapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar’i, ini berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil yang haram.
Begitu juga hukum menjual khamr. Khamer, maksudnya segala yang bisa memabukkan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Semua yang memabukkan itu adalah khamr, dan semua khamr itu haram.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang yang berkaitan dengan khamr.
إن اللَّهَ لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَشَارِبَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا
Sesungguhnya Allah melaknat khamr, pemerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, pembelinya, peminum, pemakan hasil penjualannya, pembawanya, orang yang minta dibawakan serta penuangnya. [HR Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Termasuk dalam masalah ini, bahkan lebih berat lagi hukumnya, yaitu menjual narkoba, ganja, opium dan jenis obat-obat psikotropika lainnya yang merebak pada saat ini. Orang yang menjualnya dan orang yang menawarkannya adalah mujrim (pelaku keriminal). Karena narkoba merupakan senjata pemusnah bagi manusia. Jadi orang yag menjual narkoba, melariskannya serta para pendukungnya terkena laknat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hasil penjualannya merupakan harta haram. Orang yang membuatnya laris berhak dijatuhi hukuman mati, karena ia termasuk pelaku kerusakan di muka bumi.
Begitu juga menjual rokok dan tembakau. Rokok benda yang jelek dan dapat menyebabkan sakit. Semua sifat jelek ada pada rokok, dan ia sama sekali tidak ada manfaatnya. Madharatnya sangat banyak. Para perokok itu orang paling jelek bau dan penampilannya. Teman duduk yang paling berat adalah perokok. Jika dia duduk di sampingmu atau berdampingan di kendaraan, lalu bernapas di depanmu, engkau akan tersiksa oleh bau napasnya. Apalagi kalau ia menyulut rokok dan asapnya berputar-putar di hadapanmu, tentu ini lebih berat lagi.
Merokok juga berarti membuang-buang harta, waktu, merusak kesehatan, mengotori wajah, menghitamkan bibir, mengotori gigi. Banyak penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Jadi ditinjau dari berbagai sudut, rokok itu jelek dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Sehingga tidak disangsikan lagi, rokok itu haram.
Masalah ini telah melanda kaum muslimin, dan banyak yang meremehkannya. Kadang ada di antara kaum muslimin yang tidak merokok dan tidak suka dengan rokok, tetapi (anehnya) ia menjual rokok karena ia senang menumpuk harta dengan segala cara. Orang-orang ini tidak mengetahui, bahwa jual-beli rokok ini akan merusak seluruh hasil usaha mereka. Yaitu hasil penjualan rokok bercampur-aduk dengan hasil perniagaan atau usaha lainnya sehingga mengakibatkan rusaknya harta yang diusahakannya secara halal.



BAB VII
JENIS JUAL BELI

A.      Jual Beli Salam
Akad bai’ salam  diperbolehkan dalam akad jual beli. Terdapat dalil-dalil (landasan syari’ah) yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.

1.      Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah, yaitu:
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”

Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.

2.      Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui
      Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.

Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.

3.      Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:

Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)

Dalil dari As-Sunnah yang lain  adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang berbunyi:
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, “Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun 'alaih)

4.      Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)

Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.       Pembeli (muslam)
b.      Penjual (muslam ilaih)
c.       Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
-          Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
-          Harus diserahkan saat terjadinya akad.
d.      Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.       Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.      Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.       Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.       Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.       Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha

B.       Jual Beli  Ijon
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2] Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Pendapat Para Fuqaha
Sebelum madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”.[  (Muttafaq alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1.      Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2.      Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3.      Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.



BAB VII
PROSES JUAL BELI

A.      Jual Beli Menipu
Dalam jual beli haruslah kejujuran yang diutamakan dan segala bentuk penipuan harus dihindari. Kejujuran akan kualitas barang atau kejujuran kondisi barang tersebut seperti apa haruslah di jelaskan dengan keadaan yang sesuai dengan kondisi barang tersebut.
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا كَانَ فِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ وَكَانَ يُبَايِعُ وَأَنَّ أَهْلَهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَصْبِرُ عَنْ الْبَيْعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ هَاءَ وَهَاءَ وَلَا خِلَابَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَحَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَالُوا الْحَجْرُ عَلَى الرَّجُلِ الْحُرِّ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ إِذَا كَانَ ضَعِيفَ الْعَقْلِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُحْجَرَ عَلَى الْحُرِّ الْبَالِغِ
jika kamu melakuakan jual beli maka katakan; (silahkan) ini & ini, tak ada penipuan, Abu Isa berkata; & serupa dengan hal ini hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dan hadits Anas adl hadits hasan shahih gharib, & hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama' & mereka berkata; menahan & mengurus seorang yang merdeka itu apabila ia lemah akalnya, ini adl pendapat Ahmad & Ishaq, namun sebagian mereka tak berpendapat boleh untuk menahan serta mengurus seorang yang merdeka & baligh.

B.       Jual Beli Garar (Spekulasi)
Kejelasan objek jual beli lah yang diutamakan dalam garar ini atau spekulasi, yaitu kejelasan suatu barang yang akan ia dapatkan, karena jika terjadi spekulasi atau ketidak jelasan suatau barang bisa saja salah satu pihak dalam trnsaksi tersebut dapat dirugikan.
Sehingga gararpun dilarang dalam suatu transaksi karena ketidak jelasa barang yang akan didapatkan :
Sudah jelas tertera dalam hadis dibawah ini tentang larangan jual beli garar atau spekulasi :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ قاَلَ  رَسُوْلُ اللهِ ص ( لَا تَشْتَرُ وا السَّمَكَ فِى الْمَاءِ فَاِنَّهُ غَرَرٌ) رَوَاهُ اَحْمَدُ وَاَشَارَ اِلَى اَنَّ الصَّوَابَ وَقْفُهُ
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW. “Janganlah kamu beli ikan yang didalam air karena ia itu gharar”.
Dengan diadakannya aturan dilarangnya jual beli gharar, penjual atau pembeli dijaga dari perbuatan yang dapat mendatangkan kerugian
BAB IX
AL-SHARF (PENJUALAN MATA UANG)

Penjualan mata uag bukan hanya dengan valas, akan tetapi antara mata uang pun tejadi.
Adapaun hadis berikut yang menjelaskan tentang sharf :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ فَآخُذُ مَكَانَهَا الْوَرِقَ وَأَبِيعُ بِالْوَرِقِ فَآخُذُ مَكَانَهَا الدَّنَانِيرَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُهُ خَارِجًا مِنْ بَيْتِ حَفْصَةَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ بِالْقِيمَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا بَأْسَ أَنْ يَقْتَضِيَ الذَّهَبَ مِنْ الْوَرِقِ وَالْوَرِقَ مِنْ الذَّهَبِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ ذَلِكَ
Tidak apa-apa dengannya (menukar mata uang) menurut nilainya. Abu Isa berkata; Hadits ini tak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali dari hadits Simak bin Harb dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar, sedangkan Abu Dawud bin Abu Hind meriwayatkan hadits ini dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar secara mauquf. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama, bahwa tak apa-apa mengganti emas dengan mata uang & mata uang dengan emas, ini adl pendapat Ahmad & Ishaq, namun sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi & selain mereka memakruhkan hal itu.
Dalam prakteknya saat ini, jual beli mata uang dapat berbentuk menjual emas dengan perak atau dengan rupiah atau dolar dan sebaliknya. Jual beli valas dan penukaran mata uang sejenis yang banyak terjadi sekarang ini, misalnya untuk ongkos haji yaitu perlu membeli dollar dengan rupiah atau riyal dengan rupiah merupakan praktek sharf.
A.      Tata Cara  Penjual Belian Mata Uang
Ketetapan yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam transaksi mata uang :
-          Jika mata uang yang dijadikan objek transaksi sejenis, misal emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, maka harus sama seimbang, meskipun beda kualitas atau model cetakannya.
-          Jual beli mata uang harus dilakukan secara tunai tidak dengan kredit atau angsuran, atau dibayar di belakang.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ أَقُولُ مَنْ يَصْطَرِفُ الدَّرَاهِمَ فَقَالَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ وَهُوَ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَرِنَا ذَهَبَكَ ثُمَّ ائْتِنَا إِذَا جَاءَ خَادِمُنَا نُعْطِكَ وَرِقَكَ فَقَالَ عُمَرُ كَلَّا وَاللَّهِ لَتُعْطِيَنَّهُ وَرِقَهُ أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَمَعْنَى قَوْلِهِ إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ يَقُولُ يَدًا بِيَدٍ
Mata uang dengan emas adl riba kecuali tunai serah terimanya, burr (gandum) dengan burr (gandum) adl riba kecuali tunai serah terimanya, sya'ir (gandum) dengan sya'ir (gandum) adl riba kecuali tunai serah terimanya & kurma dengan kurma adl riba kecuali tunai sarah terimanya. Abu Isa berkata; Hadits ini adl hadits hasan shahih & menjadi pedoman amal menurut para ulama. Makna sabdanya: Kecuali ini & ini. Adalah secara tunai serah terimanya.
Jika ingin memperjual belikan mata uang yang tidak sejenis maka harus mengikuti aturan harga pasar pada saat itu.
BAB X
PAILIT (TAFLIS)

Pailit, dalam bahasa Arabnya disebut muflis (المفلس) berasal dari kata iflas (الإفلاس) yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tak memiliki uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut istilah syari'at digunakan untuk 2 makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.
Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tak mempunyai dirham maupun harta benda. ” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa & zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci & (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah & memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka”.

B.       Solusi Yang Dilakukan Rasul Terhadap Orang Yang Pailit
1.      tak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali bila jumlah hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang ia miliki. Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya, atau lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tak boleh melakukan hajr terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya maupun dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila hutang-hutangnya lebih besar dari harta yang ia miliki, yang dengannya para pemilik harta (pemberi hutang) boleh mengambil dari harta muflis yang ada sesuai prosentase masing-masing. Yakni mereka bersekutu dalam pembagian harta muflis yang masih ada.
Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan:
أُصِيبَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ: ((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ .
“Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang tertimpa musibah (kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga ia banyak berhutang. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka orang-orang pun bersedekah untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih hutang: “Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), & tak ada lagi selain itu”. Demikian pula dalam kisah Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya.
2.      Tak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali atas permintaan para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika di antara mereka terjadi perselisihan dalam hal tuntutan hajr, maka boleh dilakukan hajr terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang menuntutnya dengan syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis lebih banyak dari jumlah harta muflis. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu di atas. Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para pemilik harta (pemberi hutang). Jika mereka tak menuntut hajr, maka hal itu menunjukkan bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.
3.      Apabila hakim menjatuhkan hajr kepada muflis, maka hak para pemilik harta (pemberi hutang) berubah dari keterikatannya dengan dzimmah (tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung dengan hartanya. Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak orang yang menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan bagi pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya hak mereka.
4.      Dianjurkan bagi hakim untuk menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap muflis agar khalayak tak bermuamalah (harta) secara bebas dengannya.
5.      Hakim harus menjual harta benda muflis yang ada, kemudian hasilnya dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi hutang) menurut prosentase yang mereka pinjamkan kepada muflis. Dalam hal ini dianjurkan untuk bersegera melakukannya, & sebisa mungkin dengan tetap memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr dalam cara menjual harta bendanya. Seperti mendahulukan penjualan sesuatu yang cepat rusak, semisal makanan atau yang serupa. Kemudian barang-barang yang bisa diangkut atau harta bergerak, misalnya kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau semisalnya. Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr & para pemilik hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut. Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk memenuhi hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok & tempat tinggal dengan standar yang layak, tak terlalu kurang tapi juga tak berlebihan.
6.      Jika harta benda muflis telah dibagikan kepada para pemilik hak (pemberi hutang) sesuai prosentase haknya masing-masing, maka para pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis, jika masih tersisa hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan kesusahannya.
Hal itu demi mengamalkan firman Allah Subhanhu wa Ta'ala:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. [al Baqarah: 280].
Seperti juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam Shahih Muslim & lainnya.
BAB XI
Titipan (Wadi’ah)

966- عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ , عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : – مَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً , فَلَيْسَ عَلَيْهِ ضَمَانٌ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ (2) .
966. Dari Amar Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa dititipi suatu titipan maka tidak ada tanggungan atasnya.” Riwayat Ibnu Majah dan dalam sanadnya ada kelemahan.
Wadi’ah/titipan merupakan amanah yang harus dijaga oleh penerima sampai titipan itu dikembalikan kepada pemiliknya. Jika seseorang mendapat titipann dari orag lain, maka ia mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan menjaga titipa tersebut dengan baik, hingga titipan tersebut diambil kembali oleh yang menitipkan.
Titipan biasanya diberikan oleh yang menitip kepada orang yang benar-benar dapat di berikan kepercayaan untuk menjaga titipan tersebut, sehingga baik nya penerima titipan itu menjaga baik-baik apa yang dititipkan oleh yang menitip.
Dan jika titipan itu berupa barang maka sebaiknya si penerima titipan tidak menggunakan barang titipan tersebut tanpa seizin pemilik barang titipan, namun jika terjadi suatu kerukan si penerima titipanlah yang harus menanggung kerusakan yang terdapat pada barang tersebut.
Adapun titipan amanah, dan titipan amanah dapat berubah menjadi dhaman apabila penerima titipan menerima bayaran terhadap pemeliharaan titipa seperti membayar pada pemilik box deposit untuk menjaga barang berharga yang dititipkan kepadanya. Dan apabila barang titipan rusak atau hilang, maka penerima titipan harus menggati rugi.

No comments:

Tinggalkan Komentar Anda Terimakasih

SKRIPSI MAHASISWA S1 KESEHATAN MASYARAKAT

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban ban...