iklan

Tuesday, January 11, 2022

SKRIPSI MAHASISWA S1 KESEHATAN MASYARAKAT

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek, yang pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.[1]

 

Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas Permasyarakatan Anak.Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice).Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.[2]

 

Berdasarkan pada kenyataan dan pentingnya penangan perkara anak yang belum berusia 12 (dua belas) tahun, seperti yang penulis kemukakan di atas maka penulis terdorong untuk menyusun skripsi dengan judul "Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun”.

 

B.    Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.     Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dapat dibahas secara operasional dan sesuai dengan sasaran penelitian yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a.     Bagaimanakah Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun ?

b.     Apakah faktor penghambat dalam Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

 

2.     Ruang Lingkup

Ruang lingkup terhadap permasalahan ini dititikberatkan padaImplementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun. Tempat penelitian adalah Kepolisian Resor Kota Metro.

 

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.     Tujuan Penelitian

Penulis mempunyai tujuan untuk memberi arahan yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai, oleh karenanya ini dimaksudkan untuk tujuan sebagai berikut:

a.    Untuk mengetahui alasan mengapa Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan PP Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun

b.    Untuk mengetahui Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

 

2.     Kegunaan Penelitian

Adapun Kegunaan yang diambil dari penelitian ini adalah:

a.     Kegunaan Teoritis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pendapat dan masukan terhadap Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahunpada umumnya.

 

b.   Kegunaan Praktis

Kegunaan penulisan dari penelitian ini adalah memberikan masukan bagi aparat penegak hukum (sistem peradilan pidana anak) dalam rangka memberikan masukan terhadap Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

 

D.    Kerangka Teoritis dan Konseptual

1.     Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.[3]

 

 

 

 

Implementasi adalah:

Arti implementasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu pelaksanaan / penerapan. Sedangkan pengertian umum adalah suatu tindakan atau pelaksana rencana yang telah disusun secara cermat dan rinci (matang).

Kata implementasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “to implement” artinya mengimplementasikan. Tak hanya sekedar aktivitas, implementasi merupakan suatu kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan dengan serius juga mengacu pada norma-norma tertentu guna mencapai tujuan kegiatan.

Dalam kalimat lain implementasi itu sebagai penyedia sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menyebabkan dampak terhadap sesuatu.

Sesuatu tersebut dilakukan agar timbul dampak berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan serta kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.

Diversi adalah ;

Diundangkan sejak tahun 2012 dan mulai efektif berlaku Juli 2014 lalu, pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dinilai masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), adalah pihak Kepolisian belum memahami arti diversi sebenarnya.

Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11/2012, pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Lalu, Pasal 5 ayat (3) menegaskan “dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi”.

2.     Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti yaitu Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 tahun.[4]

 

E.    Sistematika Penulisan

I.      PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

 

II.    TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dikemukakan tinjauan umum tentang Definisi mengenai efektifias, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015, dan Pemahaman tentang Diversi.

 

III.    METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, dan pengolahan data serta analisis data.

 

IV.    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini terdiri dari uraian tentang Efektifitas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

 

V.     PENUTUP

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang berguna dan dapat menambah wawasan tentang ilmu hukum khususnya di dalam sistem peradilan pidana anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Teori Implementasi Hukum

I.               Implementasi

 

Menurut Nurdin Usman dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut : “Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”. Menurut Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :

“Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif”

 

Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuarapada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

II.              Hukum

Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap pentimpangan terhadapnya.

 

Lebih lanjut, hukum dibagi menjadi empat kelompok pengertian hukum; pertama hukum yang dibuat oleh institusi kenegaraan, dapat kita sebut Hukum Negara. Misalnya undang-undang dan yurisprudensi; kedua, hukum yang dibuat oleh dinamika kehidupan masyarakat atau yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum, seperti hukum adat; ketiga, hukum yang dibuat atau terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran didunia ilmu hukum, biasanya disebut doktrin. Misalnya teori hukum fiqh mazhab Syafii yang diberlakukan sebagai hukum bagi umat Islam di Indonesia. Terakhir, hukum yang berkembang dalam praktek dunia usaha dan melibatkan peranan para profesional dibidang hukum, dapat kita sebut praktek. Misalnya perkembangan praktek hukum kontrak perdagangan.

 

Berbicara Implementasi hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Lembaga kepolisian diberi tugas untuk menangani pelanggaran hukum, kejaksaan disusun dengan tujuan untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan.

Menurut Chambliss dan Seidman yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, ada 2 faktor yang menentukan tugas pengadilan, yaitu:

1.     Tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa itu.

2.     Tingkat pelapisan yang terdapat di dalam masyarakat.

Masyarakat yang sederhana cenderung untuk memakai pola penyelesaian berupa perukunan. Sedangkan masyarakat yang tinggi cenderung menggunakan penerapan peraturan atau sanksi. Penyelesaian konflik atau sengketa menurut Marwan Mas ada 2, yaitu:

1.     Penyelesaian secara litigasi: dilakukan melalui pengadilan

2.     Penyelesaian secara nonlitigasi: dilakukan di luar pengadilan yang terbagi atas 4 jenis, yaitu:

1)    Perdamaian (settlement), dilakukan sendiri oleh pihak-pihak bersengketa.

2)    Mediasi (mediation), pra pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga (tidak formal) mediator.

3)    Konsiliasi (conciliation), para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal (ditunjuk oleh MA)

4)    Arbitrase (arbitration), para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal (UU) dan kedudukannya mandiri

 

B.    Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan Batasan Usianya

Menurut UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal 1 nomor 2. Berdasarkan definisi ini dapat disebutkan bahwa terdapat tiga kategori anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

1.     Anak yang berkonflik dengan hukum. Maksudnya adalah anak sebagai pelaku tindak pidana.

2.     Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3.     Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

 

Kategori anak sebagai pelaku tindak pidana tentu saja memiliki ketentuan umur tersendiri. Mereka adalah anak yang telahberumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi anak yang berumur di bawah 12 tahun, walaupun melakukan tindak pidana, belum dikategorikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, ia berada di luar ketentuan ini. Begitu juga, orang yang telah berumur di atas 18 tahun tidak lagi digolongkan kepada anak, namun sudah dianggap dewasa, dan berlaku ketentuan umum hukum pidana. Kategori anak yang menjadi korban tindak pidanaadalah anak yang belum berusia 18 tahun. Sedangkan kategori anak yang juga belum berumur 18 tahun. Untuk kategori anak sebagai korban dan anak sebagai saksi disamakan usianya, yaitu 18 tahun. Di sini tidak diberi batasan apakah anak di bawah usia 12 tahundisebut korban dan menjadi saksi? Kalau melihat isi ketentuan ini tentu saja harus dipahami bahwa anak yang belum berumur 12 dapat menjadi korban dan dapat pula sebagai saksi.

C.    Perlindungan Hukum dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak

Terdapat sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem peradilan anak berdasarkan pasal 2 UU No. 11 tahun 2012, yaitu:

a.    PerlindunganYang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

b.    KeadilanYang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

c.     NondiskriminasiYang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

d.    Kepentingan terbaik bagi anakYang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.

e.     Penghargaan terhadap pendapat anakYang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan anak.

f.      Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anakYang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

g.     Pembinaan dan pembimbingan AnakYang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada TuhanYang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

h.     ProporsionalYang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

i.       Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhirYang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.

j.       Penghindaran pembalasan Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

Asas-asas yang ada tersebut secara jelas menunjukkan perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Asas pertama, misalnya, menekankan asas perlindungan terhadap anak. Perlindungan ini didasarkan pada keadaan pelaku yang masih anak-anak yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Selanjutnya, huruf d menyebutkan agar proses hukum yang dilakukan mengacu kepada kepentingan terbaik bagi anak, untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, dan seterusnya. Berdasarkan asas-asas ini pula, maka diperlukan aturan dan tindakan khusus untuk menangani perkara anak.

Terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, Hasil penelitian terhadap UU No. 11 tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat berbagai bentuk perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Di sini bentuk perlindungan tersebut dibagi kepada empat bagian, yaitu bentuk perlindungan yang terdapat selama proses hukum berlangsung digunakan istilah litigasi, bentuk perlindungan dalam proses non litigasi, aparat penegak hukum, dan pendamping Anak yang berhadapan dengan hukum.

 

 

1.     Litigasi

Terdapat beberapa aturan khusus yang diatur oleh UU terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Aturan-aturan tersebut adalah:

a.     Ruang sidang khusus anak.

b.     Identitas anak dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.

c.     Pelaku anak sebelum 12 tahun dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya.

d.     Petugas tidak memakai atribut kedinasan.

e.     Wajib diberi bantuan hukum dan didampingi pembimbing kemasyarakatan.

f.      Wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial.

g.     Mendapat pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan, bila perlu meminta pertimbangan dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya.

h.     Anak yang ditangkap ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak.

i.       Anak tidak ditahan bila mendapat jaminan dari orang tuanya.

j.       Pemeriksaan perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.

 

2.     Non Litigasi Melalui Diversi

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anakdari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya penyelesaian perkara tersebut diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan muenekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Diversi dapat ditempuh sejak tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Artinya proses penyelesaian perkara tindak pidana anak dapat dilakukan sejak kasusnya ditangani oleh kepolisian atau bahkan sebelum disidik oleh aparat kepolisian. Apabila perkara tersebut telah dilimpahkan kepada kejaksaan selaku penuntut, diversi masih tetap dapat dilaksanakan. Bahkan diversi masih tetap diupayakan meskipun perkara tersebut sudah mulai disidangkan di pengadilan. Dengan demikian diversi dianggap penyelesaian yang palingbaik bagi pihak-pihak yang berhadapan dengan hukum.Meski secara terus menerus dapat diupayakan diversi sampai ke tahapan proses peradilan, namun diversi tidak berlaku bagi anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukum lebih dari tujuh (7) tahun penjara dan juga tidak berlaku bagi pengulangan tindak pidana (residivis).

3.     Pendamping Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Undang Undang No. 11 tahun 2012 turut mengatur adanya keterlibatan pendamping Anak yang berhadapan dengan hukum. pendamping tersebut adalah :

a.     Pembimbing kemasyarakatan, yaitu Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana

b.     Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak.

c.     Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.

d.     Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak.

e.     Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

f.      Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung.

g.     Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

h.     Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.

i.       Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.

j.       Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

k.     Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.

l.       Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.

m.   Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

n.     Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.

o.     Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan

 

 

 

D.    Hak Hak Anak

Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya anak. Mengenai hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB tanggal 20 November 1959, dengan memproklamirkan Deklarasi Hak-Hak Anak. Ada sepuluh prinsip tentang hak anak menurut deklarasi tersebut, yaitu :

Prinsip 1 : Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

Prinsip 2: Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum dan perangkat lain sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal.

Prinsip 3: Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan.

Prinsip 4: Setiap anak harus menikmati manfaat dan jaminan sosial.

Prinsip 5: Setiap anak yang baik secara fisik, mental dan sosial mengalami kecacatan harusdiberikan perlakuan khusus, pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya.

Prinsip 6: Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.

Prinsip 7: Setiap anak harus menerima pendidikan secara Cuma-Cuma dan atas dasar wajib belajar.

Prinsip 8: Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama.

Prinsip 9: Setiap anak harus dilindungi dari segala bentuk keterlantaran, tindakan kekerasan, dan eksploitasi.

Prinsip10: Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk lainnya.

I.               Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak

Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak Konvensi Hak Anak PBB menyatakan bahwa setiap anak tanpa memandang ras, kelamin, asal usul keturunan, bahasa, mempunyai hak-hak yang di hormati, yaitu : Hak terhadap kelangsungan hidup (sejak dari dalam kandungan), hak terhadap perlindungan, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk berpartisipasi.

II.              Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak-hak anak, menurut Pasal 52 Ayat (2) yang dimaksud dengan hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Berdasarkan hal tersebut maka Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak anak di dalam bab III, di mulai dari Pasal 52 hingga Pasal 66 yang isinya :

1)    Hak anak untuk mendapat perlindungan.

2)    Hak anak untuk memperoleh pendidikan.

3)    Hak anak untuk memperoleh kesehatan.

4)    Hak anak untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

5)    Hak anak untuk bermain dan beristirahat.

6)    Hak anak yang mengalami cacat fisik dan mental :

 

III.            Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pengaturan mengenai anak selain terdapat di dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-ndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang merumuskan hak anak di dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:

1)    Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2)    Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

3)    Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4)    Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan pekembangan dengan wajar. (Sholeh, 2001).

 

E.    Diversi

Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship.

 

Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.

 

Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.

 

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).

 

Mahkamah Agung merespon Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan sangat progresif. Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Hatta Ali menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan sebelum Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA dikeluarkan. Poin penting PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan persoalan ABH dengan acara Diversi yang merupakan prosedur hukum yang masih sangat anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Disamping itu juga, PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.

 

a.    Tujuan Diversi

Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.

Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :

  1. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
  2. Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
  3. Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.

b.     Diversi dan Restoratif Justice

Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :

1.     Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip pokok tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam permasalahan-permasalahan Pidana (United Nations Declaration on The Basic Principles on the Use of Restoratif Justice Programmes in Criminal Matters)

2.     Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice : "Meeting the challanges of the Twenty-First Century") butir 27-28 tentang Keadilan Restoratif

3.     Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice)pada butir 32 :"Persekutuan Strategis dalam Pencegahan tindak pidana dan peradilan pidana (Synergies and Responses : Strategic Alliances in Crime Prevention and Criminal Justice)"

 

 

Selanjutnya diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan PERMA 4 tahun 2014

Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:

1.     Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

2.     Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

3.     Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

4.     Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

5.     Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.

Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :

1.     Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan

2.     Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan

3.     Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui pihak lainnya.

 


BAB III

METODE PENELITIAN

 

A.    Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah dengan melakukan penelitian di lapangan yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam Implementasi PP No 65 Tahun 2016 tentang Pedoman pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang belum Berumur 12 Tahun. Namun demikian penulis juga tetap menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu  pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini.

 

B.    Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. (Soerjono Soekanto, 1986:72)

 

1.     Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari:

a.    Data lapangan, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan para narasumber, yaitu Penyidik (PPA) Kepolisian di Kepolisian Resort Metro-Lampung.

b.    Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber atau bahan kepustakaan, seperti buku-buku hukum, hasil penelitian dan literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. 

 

2.     Jenis Data 

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: 

a.     Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, yaitu Penyidik (PPA) Kepolisian di Kepolisian Resort Kota Metro untuk mendapatkan data mengenai Implementasi PP No 65 Tahun 2016 tentang Pedoman pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang belum Berumur 12 Tahun.

 

b.    Data Sekunder

Data sekunder yaitu, data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan pemasalahan yang diteliti. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan:

1)    Bahan hukum  primer terdiri dari

c.     Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

d.     Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

e.     Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

f.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

g.     Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak:

 

F.    Bahan Hukum Sekunder, bersumber dari bahan hukum yang membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, berbagai buku hukum seperti buku hukum pidana Perdilan Anak.

G.    Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersumber dari Internet.

 

C.    Penentuan Narasumber dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di kantor Kepolisia Resort Kota Metro. Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak yang dipandang relevan dengan permasalahan mengenaiEfektivitas PP No 65 Tahun 2016 tentang Pedoman pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang belum Berumur 12 Tahun, Penyidik Kepolisian Resor Metro.

 

D.    Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1.     Metode Pengumpulan Data                           

a.     Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dengan langkah-langkah:

1)    Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan/narasumber yang ada hubungannya dengan Efektivitas PP No 65 Tahun 2016 tentang Pedoman pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang belum Berumur 12 Tahun. Pada penelitian ini pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Hal ini penulis memiliki objek penelitian di Kepolisi Resort Kota Metro.

2)    Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari bahan-bahan dokumen baik peraturan perundang-undangan, catatan-catatan, laporan-laporan maupun arsip-arsip lainnya.

 

b.    Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca, mengutip buku-buku atau referensi serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lain yang ada dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan proposal ini.

 

2.     Metode Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah dengan cara: 

a.     Editing yaitu meneliti kembali kelengkapan data yang diperoleh, apabila masih belum lengkap maka diusahakan melengkapi kembali dengan melakukan koreksi ulang ke sumber data yang bersangkutan. Selain itu juga melakukan pemeriksaan bila ada kesalahan atau kekeliruan terhadap data yang diperoleh.

b.     Klasifikasi yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

c.     Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

 

E.    Analisis Data

Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian lapangan maupun penelitian pustaka.Terhadap data primer yang didapat dari lapangan terlebih dahulu diteliti kelengkapannya dan kejelasannya untuk diklasifikasi serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk memudahkan melakukan analisis. Data primer inipun terlebih dahulu di korelasi untuk menyelesaikan data yang paling relevan dengan perumusan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil data penelitian pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analitis.

 

Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematis terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Analitis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis dengan cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan permasalahan tersebut.

 

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data yaitu analisis yang dilakukan dengan metode kualitatif yaitu, metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Maksud dari metode kualitatif yaitu menguraikan hasil penelitian pustaka (data sekunder) sehingga dapat Implementasi PP No 65 Tahun 2016 tentang Pedoman pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang belum Berumur 12 Tahun.. Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif yaitu, pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan konteksnya. Desain tersebut tidak kaku sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada di lapangan.

 

 

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

A.    Karakteristik Responden

Sebelum sampai pada hasil penelitian dan pembahasan, perlu penulis uraikan terlebih dahulu mengenai karakteristik responden. Responden penulis adalah aparat kepolisian di Kepolisian Resor Metro. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pada pasal 2 yang dikatakan penyidik adalah:

a.     Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b.     Pejabat pegawai negeri sipil.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada karakteristik responden sebagai berikut:

1.         Penyidik Pembantu Kepolisian Resor Metro

Nama                    : Mariza Fitria, S.H.

Pangkat                 : Brigadir Polisi Satu

Jabatan                 : Bintara Unit PPA

Satuan                   : Kepolisian Resor Metro

N.R.P                    : 94120528

 

2.  Penyidik Pembantu Kepolisian Resor Metro

Nama                    : Qori Wulandari

Pangkat                 : Brigadir Polisi Satu

Jabatan                 : Bintara Unit PPA

Satuan                   : Kepolisian Resor Metro

N.R.P                    : 94100825

 

B.    Sistem Dan Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya beda dengan penanganan perkara terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak tersebut bersifat khusus karena itu diatur pula dalam peraturan tersendiri. Pemahaman terhadap proses penanganan perkara anak tentunya mungkin masih ada sebahagian kalangan masyarakat yang belum mengerti atau paham, sehingga kadang-kadang memunculkan penilaian bermacam-macam, malah yang lebih fatal bilamana terjadi salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak khususnya anak yang berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga yang menganggap anak tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya saja proses penanganannya diatur secara khusus.

Perlu dipahami bahwa terkait dengan penanganan anak yang berhadapan hukum tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus yakni antara lain sebagai berikut:

  • Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sebelumnya Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
  • Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  • Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun;
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak;
  • Peraturan Jaksa Agung No. 06/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanan Diversi.

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami;

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).

Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.

Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.[5] Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukum bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini.

 

Program ini menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.[6] Setiap tingkatan peradilan wajib melaksanakan proses diversi baik itu penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan.[7] Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana Anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.[8]

 

a.     Tahap Penyidikan

 

Proses penyidikan mengandung arti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi, serta sekaligus menemukan tersangka atau pelaku tindak pidananya.[9] Artinya bahwa penyidikan dalam perkara tindak pidana anak merupakan kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan anak.

 

Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik Anak yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian RI (KAPOLRI) atau pejabat lain yang ditunjuk oleh KAPOLRI. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik Anak:

1.     Telahberpengalaman sebagai Penyidik;

2.     Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

3.     .Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.[10]Apabila belum ada Penyidik Anak, maka penyidikan terhadap Anak dilakukan oleh penyidik untuk orang dewasa.

 

b.Tahap Penuntutan

Definisi penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang diatur di dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan.[11]Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke pengadilan anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim anak dalam persidangan anak.

 

c. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan Anak

Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak:

1.     Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;

2.     Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

3.     Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Apabila belum ada Hakim Anak, maka pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

 

 

C.    Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun

 

1.Pedoman Pelaksanaan Diversi

Diversi pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sitem Peradilan Pidana Anak akan tetapi, peraturan tersebut belum sempurna dalam menjadi pedoman pelaksanaan diversi untuk melindungi anak. Maka dari itu, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

Berdasarkan wawancara dengan Briptu. Mariza Fitria, S.H selaku anggota Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Metro Lampung[12], menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 sudah disosialisasikan. Pedoman pelaksanaan proses diversi yang diatur dalam Bab II menyebutkan dalam Pasal 2 PP ini bahwa tujuan diversi adalah:

a.     Mencapai perdamaian antara korban dan Anak

b.     Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c.     Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;d.Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dane.Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

 

2. Tata Cara Dan Koordinasi Pelaksanaan Diversi

a.     Tahap PenyidikanPenyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dan berkoordinasi dengan penuntut umum dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat jam) sejak surat perintah penyidikan diterbitkan dan sejak dimulainya penyidikan.[13]Penyidik memberitahu dan menawarkan penyelesaian perkara melalui diversi kepada Anak dan/atau orang tua/wali, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali dalam jangka waktu 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat jam) sejak dimulainya penyidikan. Jika semua pihak sepakat melakukan diversi, penyidik menentukan tanggal dimulainya musyawarah diversi.[14]

 

Diversi tidak dapat dilakukan apabila korban tidak menyetujui pelaksanaan diversi.[15]Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk diversi, penyidik melanjutkan proses penyidikan kemudian menyampaikan berkas perkara dan berita acara upaya diversi kepada penuntut umum[16]

Proses diversi dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan dilakukan melalui musyawarah diversi. Musyawarah diversi melibatkan: penyidik, Anak dan orang tua/walinya, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja profesional.[17]

 

Tahapan musyawarah diversi ialah sebagai berikut:[18]

4.     Musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi dengan perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak yang hadir.

5.     Fasilitator diversi menjelaskan tugas fasilitator diversi.

6.     Fasilitator diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan pembimbing kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial Anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.

7.     Fasilitator diversi wajib memberikan kesempatan kepada:

a.     Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan.

b.     Orangtua/Wali untuk menyampaikan hal yang berkaitan dengan perbuatan Anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

c.     Korban/Anak Korban/Orangtua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

8.     Pekerja Sosial Profesional memberikan informasi tentang keadaan sosial Anak Korban serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.

9.     Bila dipandang perlu, fasilitator dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian.

10.  Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat melakukan kaukus dengan para pihak.

11.  Fasilitator diversi menuangkan hasil musyawarah ke dalam kesepakatan diversi.

12.  Dalammenyusun kesepakatan diversi, fasilitator diversi memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak bertentangan dengan hukum agama, kepatutan masyarakat, kesusilaan atau memuat hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak baik.

Musyawarah diversi dipimpin oleh penyidik sebagai fasilitator dan pembimbing kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator.[19]

Tugas fasilitator diversi ini ialah:

1.     Membuka musyawarah diversi dengan memperkenalkan para pihak yang hadir, baik pihak korban, pelaku, saksi dan semua pihak yang terkait.

2.     Menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi dan tata tertib musyawarah diversi.

3.     Menjelaskan secara ringkas dakwaan yang diajukan ke pelaku (Anak).

4.     Menjadi pendengar bagi masing-masing pihak yang hadir.

5.     Melakukan pertemuan terpisah(kaukus)[20] untuk mencari jalan keluar permasalahan.

6.     Menuangkan hasil kesepakatan diversi dengan memperhatikan dan mengarahkan kesepakatan agar tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, atau memuat hal-hal yang tidakdapat dilaksanakan anak atau memuat etikad tidak baik.

 

Penyidik membuat laporan dan berita acara proses diversi dan mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum serta melanjutkan proses peradilan pidana dalam hal proses musyawarah diversi tidak mencapai kesepakatan.[21]Dalam hal diversi mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan Surat Kesepakatan Diversi dan berita acara diversi kepada atasan langsung penyidik untuk dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan.[22] Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Penetapan disampaikan kepada penyidik dan pembimbing kemasyarakatan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga hari) sejak tanggal penetapan.[23]

Penyidik meminta para pihak untuk melaksanakan kesepakatan diversi setelah menerima penetapan. Pengawasan dilakukan oleh atasan langsung penyidik terhadap pelaksanaan kesepakatan diversi. Pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan pelaksanaan kesepakatan diversi.[24]                                            

Penyidik menerbitkan surat ketetapan penghentian penyidikan yang sekaligus memuat penetapan status barang bukti sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian surat ketetapan penghentian penyidikan dikirimkan kepada Penuntut Umum beserta laporan proses Diversi dan berita acara pemeriksaan.[25] Pembimbing kemasyarakatan melaporkan secara tertulis kepada atasan langsung penyidik untuk ditindaklanjuti dalam proses peradilan pidana dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan berlaku juga bagi lembaga/ instansi penegak hukum yang memiliki Penyidik atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.Beberapa keuntungan yang diperoleh jika diversi dilakukan pada tahap penyidikan oleh polisi, yaitu:

1.     Kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum dalam sub sistem peradilanpidana yang mempunyai jaringan hingga tingkat kecamatan. Dengan demikian, secara struktural lembaga kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang paling dekat dan paling mudah dijangkau oleh masyarakat. Dengan potret kelembagaan yang demikian, kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang paling memungkinkan untuk memiliki jaringan sampai di tingkat yang paling bawah (tingkat desa).

2.     Secara kuantitas aparat kepolisian jauh lebih banyak dibandingkan dengan aparat penegak hukum yang lainnya, sekalipun juga disadari bahwa tidak setiap aparat kepolisian mempunyai komitmen untuk menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi ketersediaan personil yang cukup memadai juga akan sangat membantu proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

3.     Oleh karena lembaga kepolisian merupakan aparat penegak hukum pertama yang bergerak dalam proses peradilan pidana, maka diversi di tingkat kepolisian mempunyai makna memberikan jaminan kepada anak untuk sedini mungkin dihindarkan dari bersinggungan dengan proses peradilan pidana. Dengan demikian, dampak negatif akibat anak bersinggungan dengan aparat penegak hukum dapat diminimalisir.

4.     Dengan pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non-yustisial di tingkat kepolisian, maka berartijuga akan menghindarkan anak dari kemungkinan anak menjadi korban kekerasan di tingkat penyidikan yang seringkali menjadi momok dalam proses peradilan

 

b.Tahap Penuntutan

Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas Anak dan barang bukti kepada penuntut umum dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai. Penuntut umum menawarkan diversi kepada Anak dan/atau orang tua/wali, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali dalam jangka waktu 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat jam) sejak penyerahan tanggung jawab atasAnak dan barang bukti untuk penyelesaian perkara. Jika para pihak sepakat melakukan diversi, penuntut umum menentukan tanggal dimulainya musyawarah diversi. Penuntut umum wajib menyampaikan berita acara upaya diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dalam hal para pihak tidak sepakat untuk melakukan diversi.[26]Proses diversi dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan dilakukan melalui musyawarah diversi. Musyawarah diversi melibatkan: penuntut umum, Anak dan orang tua/walinya, korban atauAnak Korban dan/atau orang tua/walinya,pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja profesional.[27] Musyawarah diversi dipimpin oleh penuntut umum sebagai fasilitator dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator.Penuntut umum membuat laporan dan berita acara proses diversi serta melimpahkan perkara ke pengadilan dalam hal proses musyawarah diversi tidak mencapai kesepakatan.[28] Dalam hal diversi mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan Surat Kesepakatan Diversi dan berita acara diversi kepada atasan langsung penuntut umum agar mengirimkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh penetapan.[29] Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal kesepakatan diversi[30] dan berita acara diversi diterima. Penetapan disampaikan kepada penuntut umum dan pembimbing kemasyarakatan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga hari) sejak tanggal penetapan.[31] Penuntut umum meminta para pihak untuk melaksanakan kesepakatan diversi setelah menerima penetapan. Pengawasan dilakukan oleh atasan langsung penuntut umum terhadap pelaksanaan kesepakatan Diversi. Pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan pelaksanaan kesepakatan diversi.[32]Penuntut umum menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan yang sekaligus memuat penetapan status barang bukti sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian surat ketetapan penghentian penuntutan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat beserta laporan proses diversi dan beritaacara pemeriksaan.[33] Pembimbing kemasyarakatan melaporkan secara tertulis kepada atasan langsung Penuntut umum untuk ditindaklanjuti dalam proses peradilan pidana dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Pasal 47 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelaksanaan diversi di tingkat penuntutan diatur dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.

 

c.Tahap Pemeriksaan di Pengadilan

Ketua Pengadilan menetapkan hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal pelimpahan perkara diterima dari penuntut umum. Hakim menawarkan untuk menyelesaikan perkara melalui diversi kepada Anak dan/atau orang tua/wali, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/wali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hakim. Jika para pihak sepakat melakukan diversi, hakim menentukan tanggal dimulainya musyawarah diversi. Hakim melanjutkan perkara ke tahap persidangan dalam hal para pihak tidak sepakat untuk melakukan diversi[34]

Proses diversi dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan dilakukan melalui musyawarah diversi. Musyawarah diversi melibatkan: hakim, Anak dan orang tua/ walinya, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/walinya,pembimbing kemasyarakatan,dan pekerja profesional.[35] Musyawarah diversi dipimpin oleh hakim sebagai fasilitator dan pembimbing kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator.Hakim membuat laporan dan berita acara proses diversi dan perkara Anak dilanjutkan ke tahap persidangan dalam hal proses musyawarah diversi tidak mencapai kesepakatan.[36] Dalam hal diversi mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan Surat Kesepakatan Diversi dan berita acara diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan kesepakatan diversi sekaligus menetapkan status barang bukti dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal kesepakatan diversi ditandatangani. Penetapan disampaikan kepada hakim, penuntut umum dan pembimbing kemasyarakatan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga hari) sejak tanggal penetapan.[37] Hakim meminta para pihak untuk melaksanakan kesepakatan diversi setelah menerima penetapan. Pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan kesepakatan diversi. Pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan pelaksanaan kesepakatan Diversi.[38] Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara berdasarkan pelaksanaan kesepakatan diversi yang dilaporkan oleh pembimbing kemasyarakatan. Penetapan penghentian pemeriksaan perkara disampaikan pada penuntut umum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal penetapan penghentian pemeriksaan perkara.

 

BAB V

KESIMPULAN

 

A.Kesimpulan

 

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.     Setiap tingkatan peradilan anak baik itu penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan, wajib melaksanakan proses diversi bagi anak yang sudah berumur 12 (Dua Belas) tahun tetapi belum berumur 18 (Delapan Belas) tahun. Pengaturan diversi secara umum diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anakdan pengaturan diversi secara khusus diatur dalam peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

 

2.     Pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medanditemukan beberapa hambatan dalam pelaksanaannyaseperti Korban dan/atau keluarga korban tidak mau melaksanakan diversi, pandangan masyarakat bahwa pelaku tindak pidana harus dipenjara atau hukuman lain yang setimpal, bilamana pihak korban meminta ganti rugi sedangkan keluarga Anak (pelaku) tidak mampu untuk membayar ganti rugi. Dalam mengatasi hambatan tersebut Pengadilan Negeri Medan telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan tersebut antara lain melalui penyuluhan hukum kepada masyarakat dan mempersiapkan hakimyang berpengalaman dalam menangani diversi.

 

B.Saran

1.     Bahwa dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahundapat menjadi komitmen semua aparat penegak hukum dan masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan jaminan masa depan Anak Indonesia. Peraturan ini mempunyai semangat menanamkan tanggung jawab anak, nilai-nilai perdamaian kepada anak sejak dini, mengajak masyakat untuk ikut bertanggung jawab bila terjadi kekerasan kepada anak dilingkungannya, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan dan mengajak semua pihak bisa menyelesaikan perkara anak di luar peradilan.

2.     Dalam konsep Diversiuntuk melengkapi masalah anak yang berkonflik dengan hukum harusmendapat perhatian khusus dari penegak hukum. Sehingga konsep restorative justice dapat menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum serta melakukan penyuluhan kepada masyarakatsecara kontinu, memberikan pengetahuan hukum dan memberikan pengetahuan mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum agar terciptanya kepastian hukum dalam penanganan anak di masa yang akan datang

 



[1] Nashriana,Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.3

[2] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama,Bandung,2013, hal.6

[3] Soerjono Soekanto, 1986:123

[4] Soerjono Soekanto, 1986:126

[5] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

[6] Allison Moriris & Gabriel Maxwel. Restorative Justice for Juvenile: Coferencing Mediation and Circle. Oregeon USA: Hart Publishing, 2001, hal. 4 dikutip dari buku: Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, 2011, hal. 74

[7] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

[8] Pasal 13 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

[9] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 109

[10] Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 173

[11] Pasal 1 butir 7 KUHAP

[12] Anggota Unit PPA Polres Metro Lampung

[13] Pasal 12 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penuunganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[14] Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif lihat dalam: Pasal 1 ayat (1) Perma No. 4 Tahun 2014

[15] Hasil wawancara dengan Bapak Tumpanuli Marbun Hakim Pengadilan Negeri Medan tanggal 26 Januari 2016

[16] Pasal 14 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[17] Pasal 15 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015TentangPedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[18] Pasal 5 Perrna No. 4 Tahun 2014                                                                                                        

[19] Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[20] Kaukus adalah pertemuan terpisah antara fasilitator diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya lihat dalam: Pasal 1 ayat (3) Perrna No. 4 Tahun 2014

[21] Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[22] Pasal 20 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[23] Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[24] Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[25] Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[26] Pasal 32 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[27] Pasal 33 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[28] Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Div n32Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun ersi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[29] Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[30] Kesepakatan diversi adalah kesepakatan hasil proses musyawarah diversi yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam musyawarah diversi lihat dalam: Pasal 1 ayat (5) Perma No. 4 Tahun 2014

[31] Pasal 38 PeraturanPemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[32] asal 39 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[33] Pasal 42 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[34] Pasal 50 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[35] asal 51 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[36] Pasal 53 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[37] Pasal 55 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[38] Pasal 56 Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

No comments:

Tinggalkan Komentar Anda Terimakasih

SKRIPSI MAHASISWA S1 KESEHATAN MASYARAKAT

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban ban...