BAB I
RIBA
A.
Pengertiann
Riba
Riba adalah tambahan dan dalam surat
al-Baqarah/2: 275 telah dijelaskan bahwa Allah menghalalkan jula beli dan
mengharamkan riba. Jika dilihat dari kegiatannya, antara jual beli dan riba
sama-sama mencari keuntunngan, namun esesiya memiliki perbedaan yang sangat
jelas. Dan di arahkan kepada umat islam agar trannsaksi jula beli tidak
mendekati riba.
Adapun
riwayat muslim yag menjelaskan tentang riba :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا
هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan
utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu
zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba,
wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka
itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh muslim.
قوله : لعن رسول الله صلى الله عليه
وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال : هم سواء ) , هذا تصريح بتحريم كتابة
المبايعة بين المترابين والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على الباطل .
والله أعلم
Maksudnya, Rasulullah SAW memohon
do’a kepada Allah agar orang tersebut dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits
tersebut menjadi dalil yang menunjukan dosa orang-orang tersebut dan
pengharaman sesuatu yang mereka lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits
tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain
untuk makan, dosanya sama saja. Yang dimaksud موكله itu
adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba
itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa
penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang
itu. Dan jika keduanya sengaja serta mengetahui riba itu maka dosa bagi mereka.
Dalam suatu riwayat telah
dipaparkan, beliau telah mengutuk seorang saksi dengan mufrad (tungggal)
karena dikehendaki jenisnya. Lalu juga kamu katakan hadits yang artinya : S “ Ya
Allah apa-apa yang saya kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan dalam matan lain ”apa yang saya kutuk maka memberatkan
orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah dimaksudkann
do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.
Itu jika orang yang dikutuk
tersebut bukan yang melakkukan perbuatan yang diharamkan dan tahu kutukan itu
dalam keadaan Rasulullah marah.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه
عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى
الربا عرض الرجل المسلم(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba
itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang
laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak
kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah
al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits
tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak
nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan
bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun
bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling
ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan
tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal
yang normal.
عن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان
رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبعوا الورق
با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناخر
(متفق عليه)
Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah
bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan
janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan
jangganlah kamu menambah sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah
kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq
Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang
menunjukan pengharaman jual emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih
kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan
yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama
nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling
umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak
itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya
ataupun harganya emas dan perak itu sendiri.
B.
Ancaman
Bagi Pelaku Riba
Tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali
karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti
Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik
di dunia maupun di akhirat kelak. Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan
merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat.
Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan
(artinya):
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang
mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah:
275]
Dan Asy-Syaikh
‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah
mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat
yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian
hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan
melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila.
Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami
kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan
kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman]
Allah subhanahu wa ta’ala Maha
Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan
berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan
bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek
ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan
barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai
musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan
mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.
Adapun hadits berikut sebagai peringatan bagi
kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat
nanti.
Disebutkan
dalam Shahih
Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
رَأَيْتُ
اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ
وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ
الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ
بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ
رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ:
الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
“Tadi
malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu
keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat
hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang
berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di
tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di
dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai,
lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu
pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya
semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya
hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang
ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di
sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]
Walaupun harta yang dihasilkan dari praktek
riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya
kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis
samasekali.
benarlah
apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا
أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidak
ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya
adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah,
dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan
oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]
BAB II
PEMANFAATAN BARANG GADAI
Islam sebagai
agama yang lengkap & sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar &
aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah & juga
mu'amalah (hubungan antar makhluk). Begitu pula saat seseorang membutuhkan untuk
saling menutupi kebutuhan & saling tolong menolong diantara mereka, maka
Islam telah memberikan kaidah-kaidahnya. Salah-satunya, yaitu dalam hutang
piutang. Islam memberikan perlindungan secara adil atas diri yang berhutang
& yang memberi pinjaman. Yaitu adanya pemberlakukan barang gadai sebagai
jaminan.
Munculnya banyak
lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan, baik yang dikelola
pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya transaksi gadai di tengah
masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan manusia, tetapi
sudah lama berlangsung. yang kadang tak bisa dihindari, yaitu akibat yang
ditimbulkan dari transaksi gadai ini, yakni adanya perbuatan zhalim &
saling memakan harta dengan cara batil.
A.
Barang
Jaminan
Borg pada
awalnya merupakan alternatif yang diberikan kepada orang yang kesulitan, semntara
ia dalam perjalanan. Borg itu ditunjukan untuk penjaminan oleh penghutang
kepada pemberi hutang untuk suatu jaminan kepercayaan jika suatu saat penghutang
tidak mau atau tidak dapat mebayar hutangnya.
Dan dalam
Al-Qur’an pun tidak ada batasan untuk barang yang akan di borgkan, sehingga
barang apapun atau hewan apappun dapat dijadikan sebagai borg untuk meyakinkan
sesorang dalam memberikan jaminan.
B.
Pemanfaatan
Barang Jaminan
Barang yang
diborgkan tidak diperbolehkan diambil manfaatnya karena telah dijelaskan dalam
hadis bahwa tidak boleh megambil keutungan dari kesulitan orang lain. Karena si
penerima borg bukanlah pemilik aslinya sehingga tidak di anjurkan untuk
memanfaatkan barang yang di borgkan.
Adapun hadis yang menjelaskan
tentang pemanfaat barang jaminan :
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُوْنًا وَعَلَى الذِّيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Hewan tunggangan ditunggangi
sesuai dengan nafkahnya (baca : biayanya) apabila ia tergadaikan & susunya
diminum sesuai dengan nafkahnya apabila ia tergadaikan. Dan atas orang yang
menunggangi & meminumnya (menanggung) nafkahnya”.
Berdasarkan
hadits ini Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Laits, Al-Hasan & lainnya
berpendapat tentang bolehnya bagi orang yang memegang barang sebagai jaminan (gadai)
untuk memanfaatkan barang tersebut sepanjang ia menanggung biayanya &
barang tersebut berupa kendaraan maupun ternak yang bisa diperah susunya sambil
menjaga sikap adil antara penggunaan & biaya yang ia keluarkan.
BAB III
PENAWARAN DALAM JUAL BELI
A.
Etika
Penawaran
Penawaran dalam
jual beli memang sangatlah di anjurkan agar suatu barang memiliki kepastian
harga dan kesepakatan harga antara pejual dan pembeli, penawara ini pun
hasurlah suatu barang yang memiliki harga pasti, karena pada prakteknya seorang
pejual ingin menjual barangnya dengan harga tinggi sedangkan si pembeli ingin
mendapatkan barang tersebut dengan harga yang rendah, maka dari situlah
diperlukanya tawar menawar dalam jual beli untuk mendapatkan satu kesepakatan
harga yang tidak saling monjolimi.
و
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَلَقَّوْا
الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا
تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ
فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ
يَحْلُبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ
تَمْرٍ
Janganlah
kalian mencegat pedagang sebelum sampai di pasar. Janganlah kalian menjual
barang yang sedang ditawar orang lain. Janganlah kalian bersaing dalam menawar.
Janganlah orang kota tak menjual barang kepada orang dusun. Janganlah kalian
menahan air susu unta & kambing dalam kantungnya (hingga tampak besar saat
dijual) .. Barangsiapa terlanjur membelinya & memerahnya maka dia mempunyai
dua pilihan; jika dia ridla ia boleh menahannya, jika tak ia boleh
mengembalikannya dengan menyertakan satu sha' kurma.
Di antara bentuk
aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang
yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual
lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau
menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan
harga sama atau bahkan lebih murah. Selain
itu juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang
shohih.
حدّثنا قتيبة .
حدّثنا الليث عن نا فع عن ابن عمر عن النبىّ ص. م. قال : لا بيع بعضكم على بيع
بعض. ولا يخطب احدكم على خطبت بعض. قال : وفى الباب عن
ابى هريرة وسمرة. حديث ابن عمر حديث حسن صحيح.
Qutaibiah menceritakan kepada
kami, Laits menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi saw.
bersabda : Janganlah sebagian dari kamu membeli barang yang akan dibeli oleh
sebahagian (temanmu) dan janganlah kalian semua berkhitbah atas khitbahnya
sebagian (temanmu).
B.
Najsy
Dalam Jual Beli
Bentuk penawaran
dalam jual beli yang dilarang salah satunya adalah al-Najsy, yang merupakan
suatu tindakan atau prilaku sesoranng yang melakukan manipulasi harga.
Adapun hadis yang dengan tegas
melarang akan tindakan Najsy :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو
بْنِ السَّرْحِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَنَاجَشُوا
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَنَاجَشُوا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Amr bin sarah, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, dari Sa’id bin Al Musayyab, dari
Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah
kalian melakukan najsy.”
Dan untuk kondisi saat ini terdapat beberapa orang berprofesi sebagai
najsy, yang kemudian mendapat komisi dari pemilik barang. Barang dari pemilik
barang itu yang kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, sehingga komisi
dan keuntungan yang di dapat adalah dari komisi dan penambahan harga barang
tersbut.
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ
تَنَاجَشُوا، وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا
فِي إِنَائِهَا
“Rasulullah melarang orang kota
untuk menjualkan milik orang pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy,
janganlah seseorang menjual atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas
lamaran saudaranya, dan jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk
menceraikan madunya demi memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari,
Muslim, dan At-Tirmidzi)
BAB IV
KEPASTIAN HARGA
Harga merupakan
salah satu unsur yang terdaoat dalam transaksi jual beli, yaitu terdapat harga
yang jelas dan barang yang akan di perjual belikan. Dan Rasullulah SAW melarang
beberapa praktek yang dapat mempengarugi harga baranng dipasaran.
Harga merupakan
suatu yang harus dibayarkan dan biasanya harga suatu barang berdasarkan
kesepakan anntara penjual dan pembeli. Berbeda dengan harga yang telah ditetapkan
dipasar swalayan, disana sudah terdapat ketetapan harga sehingga tidak terdapat
permasalahn dalam harga. Namun dipsar tradisional, penetapan hrag sangat
tergantung dari pejualn dan pembeli dalam melakukan penawarann harga. Dan harga
sangat tergatung pada kemahiran kedua belah pihak dalam kesepakatan.
A.
Jual
Beli Dua Harga
هى
رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه رواه الترمذى
“Rasulullah
Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam
satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)
Wajh al-istidlal dari
hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit,
berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadis tersebut adalah
penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara
kredit sekian (lebih tinggi), cara yang begini adalah dilarang karena si
penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak
menentukan dengan harga kontan atau kredit.
B.
Khiyar
Dalam kenyataanya
sekaranng, hak khiyar yang sebenarnya tidak dapat diambil. Dan untuk zaman
modern ini, pihak pmbeli secara leluasa dapat memilih dan menetapkan barang dan
dengan harga yang disukai, seperti yang terjadi pada swalayan.
Khiyar majlis ialah kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak
pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli selama masih berada
dalam satu majlis (tempat) atau toko, seperti jual-beli atau sewa menyewa,
sebagaimana sabda rasulullah SAW:
اِ ذَا تَبَا يَعَ
الرُّ جُلاِ نِ فَلِكُلِّ وَا حِدٍ مِنهُمَا بِلخِيَا رِ مَ لَم يَتَفَرَّ
قا.......(رواه البخا ري و مسلم)
“Apabila dua orang melakukan akad
jual-beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum
berpisah badan….(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadis diatas merupakan salah satu pengaturan khiyar tentang hak khiyar majis.
Ia berpendapat bahwa khiyar majis menyamakan dengan akad nikah yang dalam
pembicaraannya tidak dapat diselingi dengan pembiacaraan lain, karena jika pembicaraan
diseligi oleh pembicaraan lain maka masa khiyar telah berakhir. Namun jika di
lihat dari hadis diatas, makna yang lebih tebat adalah berpisah badan bukan
pengalihan pembicaan.
Khiyar
majis adalah hak setiap pembeli atau penjual untuk memilih unntuk melanjutkan
atau membatalkan akad atau mengurungkan niatnya sepanjang keduanya belum
berpisah tempat. Kebersanaan atau belum berpisahnya majelis ini perlu di
batasi, jika tempatnya kecil, amak perpisahan yang membatalkan hak khiyar
dengann keluarnya pembeli dari tempat tersebut. Namun jika tempat transaksi
luas, maka keterpisahan ditandai degan telat berpalingya pembeli dari tempat
akad.
BAB V
TINDAKAN PELAKU EKONOMI YANG BERIMPLIKASI PADA HARGA
Terdapat banyak faktor yang mempegaruhi harga dalam jual belli.
Disamping perbandingan anatara tingginya kebutuhan konsumen dengan ketersediaan
barang, jika dapat disebabkan oleh tindakan pelaku ekonomi. Dan harga merupakan
salah satu unsur yang harus jelas dalam teransaksi jual beli, sehingga tidak
menyebabkan penjual atau pembeli merasa ada permainan harga.
A.
Mencegat
Penjual Di Jalan
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ
الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى
يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli
makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami
untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar
makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari)
Tempat
transaksi yang biasanya dipakai dan bertemunya anatar pemilik atau pemasok
barang dengan pembeli adalah dipasar jadi tidak sah hukumnya jika terjadi
penjegatan penjual dijalan yang kondisinya si penjual sudah hampir masuk pasar,
atau sudah tepat berada dipintu pasar.
Jika orang luar yang diberi
barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian
besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan
di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli.
حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
جَعْفَرٍ الرَّقِّيُّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَيُّوبَ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ فَإِنْ تَلَقَّاهُ
إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَ
السُّوقَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ
وَحَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ كَرِهَ قَوْمٌ مِنْ
أَهْلِ الْعِلْمِ تَلَقِّي الْبُيُوعِ وَهُوَ ضَرْبٌ مِنْ الْخَدِيعَةِ وَهُوَ
قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِنَا
Melarang mencegat barang dagangan
sebelum sampai di pasar, maka jika ada orang yang mencegatnya lalu membelinya
maka pemilik barang dagangan (penjual) berhak khiyar jika ia bermaksud
mendatangi pasar. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih gharib dari hadits
Ayyub sedangkan hadits Ibnu Mas'ud adl hadits hasan shahih.
Sekumpulan ulama memakruhkan
mencegat barang dagangan sebelum sampai di pasar, ini adalah salah satu dari
penipuan, ini adl pendapat Asy Syafi'i & selainnya dari sahabat kami.
B.
Simsar
(Calo) Dalam Jual Beli
Simsar/calo
merupaka salah satu yang mempengaruhi tinggi rendahnya harga jual suatu barang,
dan kebradaan calo ini dilarang dalam jual beli
كُنَّا
نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : "
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ
بِالصَّدَقَةِ
“Kami
pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“
(calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo,
beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang
diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu),
maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa Rasulullahshallallahu
‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka
sebagai pedagang.
C.
Menuimbun/Monopoli
(Ihtikar)
Sabda
Rasulullah SAW:
وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ
اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ :لا
يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ. )رواه مسلم(
Artinya:
“Dari Ma’mar
bin Abdullah r.a. dari Rasulullah SAW beliau bersabda: Tidaklah yang menimbun
itu, agar barang naik, kecuali orang yang bersalah.”(HR
Muslim).
يَحْتكِر
: Menimbun
خَاطِىءُ
: Orang yang melakukan kesalahan (dosa)
وعن أبى هريرة قال، قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : من احتكر حتكرة يريدان يغلى ها على المسلمين وهو خا طئ (رواه
أ حمد).
Artinya: “ Dari Abu
Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang menimbun serta
timbun (barang) dengan maksud menaikkan harga bagi kaum muslim, maka orang itu
adalah barsalah (berdosa).” (H.R. Ahmad).
BAB VI
OBJEK JUAL BELI
A.
Objek
Jual Beli Yang Di Haramkan
Di antara jual
beli yang dilarang dalam Islam, yaitu menjual barang yang diharamkan.
Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya.
Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung.
Barangsiapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang tidak disembelih
dengan cara yang syar’i, ini berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil
yang haram.
Begitu juga
hukum menjual khamr. Khamer, maksudnya segala yang bisa memabukkan sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
كُلُّ مُسْكِرٍ
خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Semua yang
memabukkan itu adalah khamr, dan semua khamr itu haram.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang yang berkaitan dengan khamr.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang yang berkaitan dengan khamr.
إن اللَّهَ
لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا
وَشَارِبَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ
وَسَاقِيَهَا
Sesungguhnya
Allah melaknat khamr, pemerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya,
pembelinya, peminum, pemakan hasil penjualannya, pembawanya, orang yang minta
dibawakan serta penuangnya. [HR Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Termasuk dalam
masalah ini, bahkan lebih berat lagi hukumnya, yaitu menjual narkoba, ganja,
opium dan jenis obat-obat psikotropika lainnya yang merebak pada saat ini.
Orang yang menjualnya dan orang yang menawarkannya adalah mujrim (pelaku
keriminal). Karena narkoba merupakan senjata pemusnah bagi manusia. Jadi orang
yag menjual narkoba, melariskannya serta para pendukungnya terkena laknat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hasil penjualannya merupakan harta
haram. Orang yang membuatnya laris berhak dijatuhi hukuman mati, karena ia
termasuk pelaku kerusakan di muka bumi.
Begitu juga
menjual rokok dan tembakau. Rokok benda yang jelek dan dapat menyebabkan sakit.
Semua sifat jelek ada pada rokok, dan ia sama sekali tidak ada manfaatnya.
Madharatnya sangat banyak. Para perokok itu orang paling jelek bau dan
penampilannya. Teman duduk yang paling berat adalah perokok. Jika dia duduk di
sampingmu atau berdampingan di kendaraan, lalu bernapas di depanmu, engkau akan
tersiksa oleh bau napasnya. Apalagi kalau ia menyulut rokok dan asapnya
berputar-putar di hadapanmu, tentu ini lebih berat lagi.
Merokok juga
berarti membuang-buang harta, waktu, merusak kesehatan, mengotori wajah,
menghitamkan bibir, mengotori gigi. Banyak penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Jadi ditinjau
dari berbagai sudut, rokok itu jelek dan tidak ada manfaatnya sama sekali.
Sehingga tidak disangsikan lagi, rokok itu haram.
Masalah ini
telah melanda kaum muslimin, dan banyak yang meremehkannya. Kadang ada di
antara kaum muslimin yang tidak merokok dan tidak suka dengan rokok, tetapi
(anehnya) ia menjual rokok karena ia senang menumpuk harta dengan segala cara.
Orang-orang ini tidak mengetahui, bahwa jual-beli rokok ini akan merusak
seluruh hasil usaha mereka. Yaitu hasil penjualan rokok bercampur-aduk dengan
hasil perniagaan atau usaha lainnya sehingga mengakibatkan rusaknya harta yang
diusahakannya secara halal.
BAB VII
JENIS JUAL BELI
A.
Jual
Beli Salam
Akad bai’ salam diperbolehkan
dalam akad jual beli. Terdapat dalil-dalil (landasan syari’ah) yang terdapat
dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282
Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah, yaitu:
Allah berfirman:
…يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ
إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. …”
Dari ayat ini dapat kita pahami
bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka
hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
2. “Barang siapa melakukan salam,
hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas,
untuk jangka waktu yang diketahui”
Hadits
riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih
menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Berdasarkan atas ketentuan dalam
hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang
secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya,
sehingga tidak terjadi perselisihan.
3. Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
Dalil
dari As-Sunnah yang lain adalah hadis
Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang berbunyi:
قَدِمَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ
وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ
مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota
Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo
waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, “Barang siapa yang
memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) pula.” (Muttafaqun 'alaih)
4. Kesepakatan ulama (ijma) akan
diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang
mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam
diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
Dalam jual beli salam, terdapat
rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pembeli (muslam)
b. Penjual (muslam ilaih)
c. Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat tertentu
pula, yaitu:
- Jelas spesifikasinya, baik jenis,
kualitas, dan jumlahnya.
- Harus diserahkan saat terjadinya
akad.
d. Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi obyek transaksi
harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut:
a. Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b. Dilakukan pada barang-barang yang
memiliki criteria jelas
c. Penyebutan criteria barang dilakukan
saat akad dilangsungkan
d. Penentuan tempo penyerahan barang
pesanan
e. Barang pesanan tersedia pada saat
jatuh tempo
f. Barang Pesanan Adalah Barang yang
Pengadaannya Dijamin Pengusaha
B.
Jual
Beli Ijon
Ijon
atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan
buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2]
Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil
pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari
pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian
yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau
biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan
secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Pendapat
Para Fuqaha
Sebelum
madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang
masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu
diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk
pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى
رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ
وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw
melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”.
(HR. Bukhari)
Ibnu
Umar juga memberitakan :
نَهى
رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا
ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah
Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan
pembeli ”.[ (Muttafaq alaih)
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di
dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada
adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam
Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum
sebagai berikut :
1. Jika
akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera
memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak
penjual.
2. Jika
akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3. Jika
akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai
masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang
para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya
dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang
menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan
larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum
bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut
adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
Jumhur
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum
layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut
mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah
atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung
dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa
persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat
ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon,
seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang
belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada
prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa
hukumnya berbeda.
BAB VII
PROSES JUAL BELI
A.
Jual
Beli Menipu
Dalam jual beli
haruslah kejujuran yang diutamakan dan segala bentuk penipuan harus dihindari. Kejujuran
akan kualitas barang atau kejujuran kondisi barang tersebut seperti apa
haruslah di jelaskan dengan keadaan yang sesuai dengan kondisi barang tersebut.
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
رَجُلًا كَانَ فِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ وَكَانَ يُبَايِعُ وَأَنَّ أَهْلَهُ أَتَوْا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَنَهَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَصْبِرُ عَنْ الْبَيْعِ
فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ هَاءَ وَهَاءَ وَلَا خِلَابَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى
وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَحَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَالُوا
الْحَجْرُ عَلَى الرَّجُلِ الْحُرِّ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ إِذَا كَانَ
ضَعِيفَ الْعَقْلِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ
يُحْجَرَ عَلَى الْحُرِّ الْبَالِغِ
jika kamu melakuakan jual beli maka katakan; (silahkan) ini
& ini, tak ada penipuan, Abu Isa berkata; & serupa dengan hal ini
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dan hadits Anas adl hadits hasan
shahih gharib, & hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama'
& mereka berkata; menahan & mengurus seorang yang merdeka itu apabila
ia lemah akalnya, ini adl pendapat Ahmad & Ishaq, namun sebagian mereka tak
berpendapat boleh untuk menahan serta mengurus seorang yang merdeka &
baligh.
B.
Jual
Beli Garar (Spekulasi)
Kejelasan objek jual beli lah yang diutamakan
dalam garar ini atau spekulasi, yaitu kejelasan suatu barang yang akan ia
dapatkan, karena jika terjadi spekulasi atau ketidak jelasan suatau barang bisa
saja salah satu pihak dalam trnsaksi tersebut dapat dirugikan.
Sehingga gararpun dilarang dalam suatu
transaksi karena ketidak jelasa barang yang akan didapatkan :
Sudah jelas tertera dalam hadis dibawah ini
tentang larangan jual beli garar atau spekulasi :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص ( لَا تَشْتَرُ وا السَّمَكَ فِى
الْمَاءِ فَاِنَّهُ غَرَرٌ) رَوَاهُ
اَحْمَدُ وَاَشَارَ اِلَى اَنَّ الصَّوَابَ وَقْفُهُ
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda
Rasulullah SAW. “Janganlah kamu beli ikan yang didalam air karena ia itu
gharar”.
Dengan diadakannya
aturan dilarangnya jual beli gharar, penjual atau pembeli dijaga dari perbuatan
yang dapat mendatangkan kerugian
BAB IX
AL-SHARF (PENJUALAN MATA UANG)
Penjualan mata uag bukan hanya
dengan valas, akan tetapi antara mata uang pun tejadi.
Adapaun hadis berikut yang
menjelaskan tentang sharf :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ
بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ فَآخُذُ مَكَانَهَا الْوَرِقَ وَأَبِيعُ
بِالْوَرِقِ فَآخُذُ مَكَانَهَا الدَّنَانِيرَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُهُ خَارِجًا مِنْ بَيْتِ حَفْصَةَ
فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ بِالْقِيمَةِ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ أَبِي
هِنْدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا بَأْسَ أَنْ
يَقْتَضِيَ الذَّهَبَ مِنْ الْوَرِقِ وَالْوَرِقَ مِنْ الذَّهَبِ وَهُوَ قَوْلُ
أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ ذَلِكَ
Tidak apa-apa dengannya (menukar mata uang) menurut nilainya.
Abu Isa berkata; Hadits ini tak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali
dari hadits Simak bin Harb dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar, sedangkan Abu
Dawud bin Abu Hind meriwayatkan hadits ini dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar
secara mauquf. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama, bahwa
tak apa-apa mengganti emas dengan mata uang & mata uang dengan emas, ini
adl pendapat Ahmad & Ishaq, namun sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi
& selain mereka memakruhkan hal itu.
Dalam prakteknya
saat ini, jual beli mata uang dapat berbentuk menjual emas dengan perak atau
dengan rupiah atau dolar dan sebaliknya. Jual beli valas dan penukaran mata
uang sejenis yang banyak terjadi sekarang ini, misalnya untuk ongkos haji yaitu
perlu membeli dollar dengan rupiah atau riyal dengan rupiah merupakan praktek
sharf.
A.
Tata
Cara Penjual Belian Mata Uang
Ketetapan yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam transaksi mata
uang :
-
Jika
mata uang yang dijadikan objek transaksi sejenis, misal emas dengan emas, perak
dengan perak, rupiah dengan rupiah, maka harus sama seimbang, meskipun beda
kualitas atau model cetakannya.
-
Jual
beli mata uang harus dilakukan secara tunai tidak dengan kredit atau angsuran,
atau dibayar di belakang.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ أَقُولُ
مَنْ يَصْطَرِفُ الدَّرَاهِمَ فَقَالَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ وَهُوَ
عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَرِنَا ذَهَبَكَ ثُمَّ ائْتِنَا إِذَا جَاءَ
خَادِمُنَا نُعْطِكَ وَرِقَكَ فَقَالَ عُمَرُ كَلَّا وَاللَّهِ لَتُعْطِيَنَّهُ
وَرِقَهُ أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا
هَاءَ وَهَاءَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى
هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَمَعْنَى قَوْلِهِ إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ يَقُولُ
يَدًا بِيَدٍ
Mata uang dengan emas adl riba kecuali tunai serah terimanya,
burr (gandum) dengan burr (gandum) adl riba kecuali tunai serah terimanya,
sya'ir (gandum) dengan sya'ir (gandum) adl riba kecuali tunai serah terimanya
& kurma dengan kurma adl riba kecuali tunai sarah terimanya. Abu Isa
berkata; Hadits ini adl hadits hasan shahih & menjadi pedoman amal menurut
para ulama. Makna sabdanya: Kecuali ini & ini. Adalah secara tunai serah
terimanya.
Jika ingin memperjual belikan mata uang yang tidak sejenis maka
harus mengikuti aturan harga pasar pada saat itu.
BAB X
PAILIT (TAFLIS)
Pailit, dalam
bahasa Arabnya disebut muflis (المفلس) berasal dari kata iflas (الإفلاس)
yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tak memiliki
uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut
istilah syari'at digunakan untuk 2 makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi.
Kedua, bersifat duniawi.
Makna yang
pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا
الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ
وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا
وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah
kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat
menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tak mempunyai dirham
maupun harta benda. ” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
“Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari
Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa & zakat, namun (ketika di dunia) dia
telah mencaci & (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah
& memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala
dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka
dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam
neraka”.
B.
Solusi
Yang Dilakukan Rasul Terhadap Orang Yang Pailit
1. tak boleh menetapkan hajr kepada
muflis, kecuali bila jumlah hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang
ia miliki. Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya,
atau lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tak boleh melakukan hajr
terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya maupun
dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang menunjukkan
disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila hutang-hutangnya lebih besar
dari harta yang ia miliki, yang dengannya para pemilik harta (pemberi hutang)
boleh mengambil dari harta muflis yang ada sesuai prosentase masing-masing.
Yakni mereka bersekutu dalam pembagian harta muflis yang masih ada.
Abu Sa'id
al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan:
أُصِيبَ
رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ،
فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ،
فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ:
((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ .
“Pada masa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang tertimpa musibah
(kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga ia banyak berhutang. Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka
orang-orang pun bersedekah untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih
hutang: “Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), & tak ada lagi
selain itu”. Demikian pula dalam kisah Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu
ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya.
2. Tak boleh menetapkan hajr kepada
muflis, kecuali atas permintaan para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika
di antara mereka terjadi perselisihan dalam hal tuntutan hajr, maka boleh
dilakukan hajr terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang
menuntutnya dengan syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis
lebih banyak dari jumlah harta muflis. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz bin Jabal
Radhiyallahu 'anhu di atas. Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para
pemilik harta (pemberi hutang). Jika mereka tak menuntut hajr, maka hal itu
menunjukkan bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.
3. Apabila hakim menjatuhkan hajr
kepada muflis, maka hak para pemilik harta (pemberi hutang) berubah dari
keterikatannya dengan dzimmah (tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung
dengan hartanya. Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak
orang yang menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan
bagi pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya
hak mereka.
4. Dianjurkan bagi hakim untuk
menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap muflis agar khalayak tak bermuamalah
(harta) secara bebas dengannya.
5. Hakim harus menjual harta benda
muflis yang ada, kemudian hasilnya dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi
hutang) menurut prosentase yang mereka pinjamkan kepada muflis. Dalam hal ini
dianjurkan untuk bersegera melakukannya, & sebisa mungkin dengan tetap
memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr dalam cara menjual harta
bendanya. Seperti mendahulukan penjualan sesuatu yang cepat rusak, semisal
makanan atau yang serupa. Kemudian barang-barang yang bisa diangkut atau harta
bergerak, misalnya kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau
semisalnya. Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr & para
pemilik hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut.
Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk memenuhi
hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok & tempat
tinggal dengan standar yang layak, tak terlalu kurang tapi juga tak berlebihan.
6. Jika harta benda muflis telah
dibagikan kepada para pemilik hak (pemberi hutang) sesuai prosentase haknya
masing-masing, maka para pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis,
jika masih tersisa hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan
kesusahannya.
Hal itu demi mengamalkan firman
Allah Subhanhu wa Ta'ala:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. [al
Baqarah: 280].
Seperti
juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam
Shahih Muslim & lainnya.
BAB XI
Titipan (Wadi’ah)
966- عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ ,
عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : – مَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً , فَلَيْسَ
عَلَيْهِ ضَمَانٌ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ (2) .
966.
Dari Amar Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa dititipi suatu
titipan maka tidak ada tanggungan atasnya.” Riwayat Ibnu Majah dan dalam
sanadnya ada kelemahan.
Wadi’ah/titipan
merupakan amanah yang harus dijaga oleh penerima sampai titipan itu
dikembalikan kepada pemiliknya. Jika seseorang mendapat titipann dari orag
lain, maka ia mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan menjaga titipa
tersebut dengan baik, hingga titipan tersebut diambil kembali oleh yang
menitipkan.
Titipan
biasanya diberikan oleh yang menitip kepada orang yang benar-benar dapat di
berikan kepercayaan untuk menjaga titipan tersebut, sehingga baik nya penerima
titipan itu menjaga baik-baik apa yang dititipkan oleh yang menitip.
Dan jika
titipan itu berupa barang maka sebaiknya si penerima titipan tidak menggunakan
barang titipan tersebut tanpa seizin pemilik barang titipan, namun jika terjadi
suatu kerukan si penerima titipanlah yang harus menanggung kerusakan yang
terdapat pada barang tersebut.
Adapun titipan
amanah, dan titipan amanah dapat berubah menjadi dhaman apabila penerima
titipan menerima bayaran terhadap pemeliharaan titipa seperti membayar pada
pemilik box deposit untuk menjaga barang berharga yang dititipkan kepadanya. Dan
apabila barang titipan rusak atau hilang, maka penerima titipan harus menggati
rugi.
No comments:
Post a Comment