BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. Kemajemukan yang ditandai
dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas
agama masing- masing dan berpotensi konflik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
kerukunan hidup antarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep
hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama
guna menghindari ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi tiba-tiba.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selau menjaga silahturahmi baik
dengan keluarga, sahabat, tetangga maupun dengan pemerintahan ataupun dengan
negara, Perilaku untuk menjaga kerukan hidup beragama maupun dengan pemerintah
dapat kita teladani dari berbagai perilaku nabi MuhammadSAW.
B. Tujuan
1.
Mengetahui
pentingnya agama dalam kehidupan
2.
Mengetahui
pentingnya akhlak dalam kehidupan
3.
Bagaimana
mengaplikasian akhlak terhadap tuhan
4.
Bagaimana
mengaplikasian akhlak terhadap diri sendiri
5.
Bagaimana
mengaplikasian akhlak terhadap orang tua
6.
Bagaimana
mengaplikasikan akhlak terhadap Sesama Manusia (Pasien)
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya
Agama Dalam Kehidupan
Agama memilik arti penting bagi manusia agar manusia tidak tersesat di dalam
menjalani kehidupan di dunia. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama
Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata agama sendiri memiliki banyak
pengertian karena agama didasarkan pada bathin dan setiap orang memiki
pengertian sendiri terhadap agama.
Dasar kata agama sendiri berbeda menurut berbagai bahasa. Dalam bahasa
Sansekerta agama berarti "tradisi". Kata agama juga berasal dari kata
Sanskrit. Kata itu tersusun dari dua kata, “a” berarti tidak dan “gam” berarti
“pergi”, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya dalam bahasa Arab
dikenal kata “din” yang dalam bahasa semit berarti undang-undang atau hukum.
Dalam bahasa Arab kata ini berarti menguasai, menundukkan, patuh, utang,
balasan dan kebiasaan.[1]
Pengertian ini juga sejalan dengan pengertian agama yang didalamnya terdapat
peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi
oleh penganut agama yang bersangkutan.Adapun kata religi berasal dari
bahasa latin. Menurut satu pendapat, asal kata religiadalah relegere yang
mengandung arti mengumpulkan atau membaca. Pengertian demikian ini juga
sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi pada Tuhan
yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.[2]
Manusia telah diberikan akal dan hati oleh Tuhan. Manusia diberi akal
pikiran agar manusia mampu berpikir dan menyadari kekuasaan Tuhan. Namun
pikiran manusia yang diberikan Tuhan sangat terbatas dan memiliki banyak
kelemahan, oleh sebab itu manusia diberikan hati untuk dapat merasakan
kekuasaan Tuhan secara bathiniah. Hati dan pikirammerupakan 2 hal yang membuat
manusia menjadi makhluk Tuhan yang paling sempurna yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Maka dari itu manusia dituntut untuk dapat menggunakan
hati dan pikirannya untuk menalari kebesaran Tuhan dan keagungan agama-Nya.
B. Pentingnya
Akhlak Dalam Kehidupan
Akhlak merupakan
garis pemisah antara yang berakhlak dengan orang yang tidak berakhlak. Akhlak
juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad
yang tidak bernyawa. karena salah satu misi yang dibawa oleh Rasulullah saw
ialah membina kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi
yang terdahulu mulai pada jaman penyembahan berhala oleh pengikutnya yang telah
menyeleweng.
Hal ini juga berlaku
pada zaman jahilliyyah dimana akhlak manusia telah runtuh,perangai umat yang
terdahulu dengan tradisi meminum arak, membuang anak, membunuh, melakukan
kezaliman sesuka hati, menindas, suka menjolimi kaum yang rendah martabatnya
dan sebagainya. Dengan itu mereka sebenarnya tidak berakhlak dan tidak ada
bedanya dengan manusia yang tidak beragama.
Akhlak juga merupakan
nilai yang menjamin keselamatan kita dari siksa api neraka. Islam menganggap
mereka yang tidak berakhlak tempatnya di dalam neraka. Umpamanya seseorang itu
melakukan maksiat, durhaka kepada kedua orang tuanya, melakukan kezhaliman dan
sebagainya, sudah pasti Allah akan menolak mereka untuk dijadikan ahli syurga.
Selain itu, akhlak
juga merupakan ciri-ciri kelebihan di antara manusia karena akhlak merupakan
lambang kesempurnaan iman, ketinggian taqwa dan kealiman seseorang manusia yang
berakal. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda yang bermaksud : “Orang yang
sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya.”
Kekalnya suatu ummah
juga karena kokohnya akhlak dan begitulah juga runtuhnya suatu ummah itukarena
lemahnya akhlaknya. Hakikat kenyataan di atas dijelaskan dalam kisah-kisah
sejarah dan tamadun manusia melalui al-Quran seperti kisah kaum Lut, Samud,
kaum nabi Ibrahim, Bani Israel dan lain-lain. Ummah yang berakhlak tinggi dan
sentiasa berada di bawah keridhoan dan perlindungan Allah ialah ummah yang
seperti pada zaman Rasulullah saw.
Tidak adanya
akhlak yang baik pada diri individu atau masyarakat akan menyebabkan
manusia krisis akan nilai diri, keruntuhan rumah tangga, yang tentunya hal
seperti ini dapat membawa kehancuran dari suatu negara. Presiden Perancis
ketika memerintah Perancis dulu pernah berkata : “Kekalahan Perancis di tangan
tantara Jerman disebabkan karena tentaranya runtuh moral dan akhlak”. Pencerminan
diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak
yang ditunjukkan.
Akhlak merupakan
perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang berakhlak jika dibandingkan
dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya.Akhlak tidak
dapat dibeli atau dinilai dengan suatu mata uang
apapun,akhlak merupakan wujud di dalam diri
seseorang yang merupakan hasil didikan dari kedua orang tua serta pengaruh dari
masyarakat sekeliling mereka. Jika sejak kecil kita kenalkan,didik serta
diarahkan pada akhlak yang mulia, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari hingga seterusnya.
Proses pembentukan
sebuah masyarakat adalah sama seperti membina sebuah bangunan. Kalau dalam
pembinaan bangunan, asasnya disiapkan terlebih dahulu, begitu juga dengan
membentuk masyarakat mesti di mulai dengan pembinaan asasnya terlebih dahulu.
Jika kukuh asas yang dibina maka tegaklah masyarakat itu. Jika lemah maka
robohlah apa-apa yang telah dibina diatasnya.
Akhlak tentu amat
penting karena merupakan asas yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika memulai
pembentukan masyarakat Islam. Sheikh Mohamad Abu Zahrah dalam kitabnya Tanzim
al-Islam Li al-Mujtama’ menyatakan bahawa budi pekerti atau moral yang mulia
adalah satu-satunya asas yang paling kuat untuk melahirkan manusia yang berhati
bersih, ikhlas dalam hidup, amanah dalam tugas, cinta kepada kebaikan dan benci
kepada kejahatan.[3]
Sungguh akhlak itu
sangat penting artinya dalam kehidupan bermasyarakat.dapat dibayangkan sperti
apa jadinya bila suatu masyarakat tidak di bangun dengan asas akhlak yang
mulia? sungguh akan terjadi suatu kehancuran pada masyarakat itu.
C. Pengaplikasian
Akhlak Terhadap Tuhan
Salah satu perilaku atau tindakan yang mendasari akhlak
kepada Pencipta adalah Taubat. Taubat secara bahasa berarti kembali pada
kebenaran.Secara istilah adalah meninggalkan sifat dan kelakuan yang tidak
baik,salah atau dosa dengan penuh penyesalan dan berniat serta berusaha untuk
tidak mengulangi kesalahan yang serupa. Dengan kata lain,taubat mengandung arti
kembali kepada sikap, perbuatan atau pendirian yang baik dan benar serta
menyesali perbuatan dosa yang sudah terlanjur dikerjakan.
1.
Menurut Ibnu Katsir : Taubat adalah
Tobat adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan menyesali atas dosa yang
pernah dilakukan pada masa lalu serta yakin tidak akan melakukan kesalahan yang
sama pada masa mendatang.
2.
Menurut A.Jurjani : Tobat adalah
kembali pada Allah dengan melepaskan segala keterikatan hati dari perbuatan
dosa dan melaksanakan segala kewajiban kepada Tuhan.
3.
Menurut Hamka : Tobat adalah kembali
ke jalan yang benar setelah menempuh jalan yang sangat sesat dan tidak tentu
ujungnya.
D. Pengaplikasian
Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Untuk membekali kaum Muslim dengan akhlak mulia terutama
terhadap dirinya. Di antara bentuk akhlak mulia ini adalah memelihara kesucian
diri baik lahir maupun batin. Orang yang dapat memelihara dirinya dengan baik
akan selalu berupaya untuk berpenampilan sebaik-baiknya di hadapan Allah,
khususnya, dan di hadapan manusia pada umumnya dengan memperhatikan bagaimana
tingkah lakunya, bagaimana penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang
dipakainya. Pemeliharaan kesucian diri seseorang tidak hanya terbatas pada hal
yang bersifat fisik (lahir) tetapi juga pemeliharaan yang bersifat nonfisik
(batin). Yang pertama harus diperhatikan dalam hal pemeliharaan nonfisik adalah
membekali akal dengan berbagai ilmu yang mendukungnya untuk dapat melakukan
berbagai aktivitas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Berbagai upaya yang
mendukung ke arah pembekalan akal harus ditempuh, misalnya melalui pendidikan
yang dimulai dari lingkungan rumah tangganya kemudian melalui pendidikan formal
hingga mendapatkan pengetahuan yang memadai untuk bekal hidupnya (QS. al-Zumar (39):
9). Setelah penampilan fisiknya baik dan akalnya sudah dibekali dengan berbagai
ilmu pengetahuan, maka yang berikutnya harus diperhatikan adalah bagaimana
menghiasi jiwanya dengan berbagai tingkah laku yang mencerminkan akhlak mulia.
Di sinilah seseorang dituntut untuk berakhlak mulia di hadapan Allah dan
Rasulullah, di hadapan orang tuanya, di tengah-tengah masyarakatnya, bahkan
untuk dirinya sendiri.
Sabar juga
ujud dari akhlak mulia terhadap diri sendiri. Sabar berarti menahan diri dari
segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap rido dari Allah Swt.
(al-Qardlawi, 1989: 8).
Bentuk lain dari akhlak mulia terhadap diri
sendiri adalah wara’ dan zuhud. Menurut al-Jarjani (1988: 252) wara’ berarti
menjauhkan hal-hal yang syubhat (hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya)
karena khawatir akan jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan. Wara’ termasuk
akhlak yang sangat terpuji yang tidak semua orang mampu memilikinya. Hanya
orang-orang tertentu yang dapat melakukan wara’ ini.
Bentuk
akhlak mulia yang juga penting adalah syaja’ah (berani). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001: 138) berani diartikan mempunyai hati yang mantap dan
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb. Dengan
demikian, berani di sini adalah berani yang bernilai positif, bukan berani yang
bernilai negatif, seperti berani berbuat kesalahan atau berani yang tujuannya
hanya untuk pelampiasan nafsu belaka. Di antara wujud sikap berani di antaranya
adalah: 1) berani dalam menghadapi musuh dalam peperangan di jalan Allah (jihad
fi sabilillah); 2) berani untuk menegakkan kebenaran, meskipun berbahaya;
dan 3) berani untuk mengendalikan hawa nafsu. Untuk menumbuhkan keberanian pada
seorang Muslim, menurut Raid Abdul Hadi (dalam Yunahar Ilyas, 2004: 118-121),
ada tujuh hal yang dapat dilakukan, yaitu 1) adanya rasa takut kepada Allah
Swt.; 2) lebih mencintai akhirat daripada dunia; 3) tidak takut mati; 4) tidak
ragu-ragu; 5) tidak menomorsatukan kekuatan materi; 6) tawakkal dan yakin akan
pertolongan Allah Swt.; dan 7) karena hasil pendidikan.
Itulah
beberapa bentuk akhlak mulia manusia terhadap dirinya sendiri. Masih banyak
bentuk akhlak mulia yang lain yang harus dilakukan oleh seseorang yang tidak
dapat diuraikan satu persatu. Di antara bentuk-bentuknya yang lain adalah 1)
istiqamah (konsisten), 2) amanah (terpercaya), 3) shiddiq (jujur), 4) menepati
janji, 5) adil, 6) tawadlu’ (rendah hati), 7) malu (berbuat jelek), pemaaf, 9)
berhati lembut, 10) setia, 11) kerja keras, 12) tekun, 13) ulet, 14) teliti,
15) disiplin, 16) berinisiatif, 17) percara diri, dan 18) berpikir positif.
Sikap dan perilaku mulia seperti ini harus diupayakan secara bertahap dan
berkesinambungan, sehingga terwuud pribadi yang berkarakter yang dapat
menampilkan dirinya dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah
masyarakat.
E. Pengaplikasian
Akhlak terhadap Orang Tua
Di samping harus berakhlak mulia terhadap dirinya, setiap
Muslim harus berakhlak mulia dalam lingkungan keluarganya. Pembinaan akhlak
mulia dalam lingkungan keluarga meliputi hubungan seseorang dengan orang tuanya,
hubungannya dengan orang yang lebih tua atau dengan yang lebih muda, hubungan
dengan teman sebayanya, dengan lawan jenisnya, dan dengan suami atau isterinya
serta dengan anak-anaknya.
Menjalin hubungan dengan orang tua memiliki kedudukan yang
sangat istimewa dalam pembinaan akhlak mulia di lingkungan keluarga. Guru juga
bisa dikategorikan sebagai orang tua kita. Orang tua nomor satu adalah orang
tua yang melahirkan kita dan orang tua kedua adalah orang tua yang memberikan
kepandaian kepada kita. Islam menetapkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang
tua (birr al-walidain) adalah wajib dan merupakan amalan utama (QS.
al-Isra’ (17): 23-24 dan HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berakhlak mulia dengan kepada orang tua bisa dilakukan di
antaranya dengan :
1)
mengikuti keinginan dan
saran kedua orang tua dalam berbagai aspek
kehidupan
2)
menghormati dan memuliakan kedua
orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas jasa-jasa
keduanya
3)
membantu kedua orang tua secara
fisik dan material
4)
mendoakan kedua orang tua agar
selalu mendapatkan ampunan, rahmat, dan karunia dari Allah (QS. al-Isra’ (17):
24)
5)
jika kedua orang tua telah
meninggal, maka yang harus dilakukan adalah mengurus jenazahnya dengan
sebaik-baiknya, melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiatnya, meneruskan
silaturrahim yang dibina orang tua di waktu hidupnya, memuliakan
sahabat-sahabatnya, dan mendoakannya.
Jadi, kita wajib berbuat baik kepada kedua orang tua kita (birr
al-walidain) dan jangan sekali-kali kita durhaka kepada keduanya. Hal yang
hampir sama juga harus kita lakukan terhadap guru-guru kita.
F.
Pengaplikasian Akhlak Sesama
Manusia (Pasien)
Yang dimaksud dengan pembinaan akhlak mulia di tengah
masyarakat di sini adalah menjalin hubungan baik yang tidak terfokus hanya pada
pergaulan antar manusia secara individual, tetapi lebih terfokus pada perilaku
kita dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti bagaimana bersikap sopan ketika
kita sedang bepergian, ketika dalam berkendaraan, ketika bertamu dan menerima
tamu, ketika bertetangga, ketika makan dan minum, ketika berpakaian, serta
ketika berhias.
Salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam diri
setiap Muslim adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain. Orang lain
bisa diartikan sebagai orang yang selain dirinya, baik keluarganya maupun di
luar keluarganya. Orang lain juga bisa diartikan orang yang bukan termasuk
dalam keluarganya, bisa temannya, tetangganya, atau orang yang selain keduanya.
Dalam konteks beragama, orang lain bisa juga diartikan orang yang tidak seiman
dengan kita, atau orang yang tidak memeluk agama Islam.
Terhadap orang lain yang seiman (sesama Muslim), kita harus
membina tali silaturrahim dan memenuhi hak-haknya seperti yang dijelaskan dalam
hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya, Nabi Saw. menyebutkan adanya lima
hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya, yaitu 1) apabila bertemu, berilah
salam kepadanya, 2) mengunjunginya, apabila ia (Muslim lain) sedang sakit, 3)
mengantarkan jenazahnya, apabila ia meninggal dunia, 4) memenuhi undangannya,
apabila ia mengundang, dan 5) mendoakannya, apabila ia bersin (HR. al-Bukhari
dan Muslim). Terhadap suami atau isteri dan anak-anak kita, kita harus saling
menjalin hubungan kasih sayang demi ketenteraman keluarga kita. Terhadap
tetangga, kita harus selalu berbuat baik. Jangan sampai kita menyakiti tetangga
kita (HR. al-Bukhari). Terhadap tamu, kita harus memuliakan dan menghormatinya.
Nabi memerintahkan kepada kita agar selalu memuliakan tamu (HR. al-Bukhari dan
Muslim), dan segera menyambut kedatangannya serta mengantarkan kepergiannya.
Terhadap orang alim (ulama) dan cendekiawan, kita harus menghormati keluasan
ilmunya dan berusaha untuk selalu bergaul dan mendekatinya.
Adapun terhadap orang-orang yang lemah, seperti fakir miskin
dan anak yatim, kita harus berbuat baik dengan menyantuni mereka, memberikan
makanan dan pakaian kepada mereka, dan melindungi mereka dari gangguan yang
membahayakan mereka. Jangan sekali-kali kita berlaku sewenang-wenang kepada
anak yatim dan menghardik orang yang minta-minta (QS. al-Dluha (93): 9-10).
Terhadap mereka yang tidak seiman, Islam memberikan beberapa
batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan dengan
mereka, tidak memberi salam kepada mereka, dan tidak meniru cara-cara mereka.
Ukuran hubungan dengan mereka yang tidak seiman adalah selama tidak masuk pada
ranah aqidah dan syariah. Di luar kedua hal ini, Islam tidak melarang kita
berhubungan dengan mereka. Terhadap mereka yang mengancam agama kita, kita
harus berbuat tegas (QS. al-Mumtahanah (60): 9). Dan jika mereka berkhianat,
kita pun harus memerangi mereka (QS. al-Anfal (8): 56-57).
Itulah beberapa cara dalam rangka membina akhlak mulia di
tengah-tengah masyarakat secara umum. Secara khusus bentuk-bentuk akhlak mulia
di masyarakat ini dapat dilakukan dengan cara :
1)
menyayangi yang lemah
2)
menyayangi anak yatim
3)
suka menolong
4)
bersijap pemurah dan dermawan;
5)
melakukan amar ma’ruf nahi munkar
(menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar)
6)
menaati ulama dan ulil amri
7)
bersikap toleran; dan sopan dalam
bepergian, dalam berkendaraan, dalam bertamu dan menerima tamu, dalam
bertetangga, dalam makan dan minum, dan dalam berpakaian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Segala
macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari
disebut akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah, Akhlakul karimah(sifat-sifat
terpuji) ini banyak macamnya,diantaranya adalah
husnuzzan,gigih,berinisiatif,rela berkorban,tata karma terhadap makhluk Allah, adil,
ridho, amal shaleh, sabar, tawakal, qona’ah, bijaksana, percaya diri, dan masih
banyak lagi.
[1] Ainain, Ali Khalil Abu. 1985. Falsafah
al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
[2] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Cet. Pertama Edisi III. Hlm. 735
[3] Al-Ghazali, Imam. 1995. Teosofia Al-Qur’an. Terj.
oleh M. Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad. Surabaya: Risalah Gusti.
No comments:
Post a Comment