Pengertian Probabilitas
PROBABILITAS
Untuk membantu pemahaman konsep dasar probabilitas terlebih dahulu harus memahami analisis kombinatorial yaitu analisis bilangan faktorial, permutasi dan kombinasi.
1. Bilangan Faktorial
Bila n bilangan bulat positif, maka bilangan faktorial ditulis dengan n! dan didefinisikan sebagai :
n! = n(n-1)(n-2)……3.2.1
0! = 1 dan 1! = 1
2. Permutasi
Susunan yang dibentuk dari anggota-anggota suatu himpunan dengan mengambil seluruh atau sebagian anggota himpunan dan memberi arti pada urutan anggota dari masing-masing susunan tersebut disebut permutasi yang biasanya ditulis dengan lambang huruf P.
Bila himpunan itu terdiri atas n anggota dan diambil sebanyak r, tentu saja r lebih kecil atau sama dengan n, maka banyaknya susunan yang dapat dibuat dengan permutasi tersebut adalah :
Bebarapa jenis permutasi
a. Permutasi Melingkar/Keliling
Permutasi melingkar adalah suatu permutasi yang dibuat dengan menyusun anggota-anggota suatu himpunan secara melingkar. Dua permutasi melingkar dianggap sama bila didapatkan dua himpunan permutasi yang sama dengan cara beranjak dari suatu anggota tertentu dan bergerak searah jarum jam. Banyaknya permutasi yang disusun secara melingkar adalah (n-1) !
b. Permutasi dari sebagian anggota yang sama jenisnya
Bila suatu himpunan terdiri dari n anggota, maka ada kemungkinan sebagian anggotanya ada yang mempunyai jenis yang sama. Misalnya jenis 1 terdiri atas n1 yang sama, jenis 2 terdiri atas n2 yang sama, jenis 3 terdiri atas n3 yang sama dan jenis k terdiri atas nk yang sama, maka banyaknya permutasi yang dapat dibuat adalah :
3. Kombinasi
Susunan-susunan yang dibentuk dari anggota-anggota suatu himpunan dengan mengambil seluruh atau sebagian dari anggota himpunan itu tanpa memberi arti pada urutan anggota dari masing-masing susunan tersebut disebut kombinasi yang ditulis dengan lambang C.
Bila himpunan itu terdiri atas n anggota dan diambil sebanyak r, tentu saja r lebih kecil atau sama dengan n, maka banyaknya susunan yang dapat dibuat dengan cara kombinasi adalah :
Kombinasi ditulis juga dengan cara : C(n,r) atau Cn,r
DASAR PROBABILITAS
Banyak kejadian sehari-hari yang sulit diketahui dengan pasti, terutama kejadian-kejadian yang akan datang atau sesuatu yang belum terjadi, misalnya :
a. Apakah nanti malam akan datang hujan ?
b. Apakah tahun depan harga minyak mentah akan naik ?
c. Apakah operasi jantung yang akan dilakukan tim dokter besok pagi akan berhasil ?
Begitu juga dalam percobaan statistika, sulit diprediksi hasil-hasil yang akan muncul, misalnya
a. Pada pelemparan sebuah uang logam, apakah akan muncul, muka atau belakang.
b. Pada pelemparan sebuah dadu, apakah akan muncul muka 1, 2, 3, 4, 5 atau 6.
Meskipun kejadian-kejadian tersebut tidak pasti tetapi dengan melihat fakta-fakta yang ada sebelumnya maka suatu peristiwa atau kejadian dapat diprediksi dengan suatu derajat atau tingkat kepastian tertentu.
Sebagai contoh yang paling sederhana misalnya cuaca langit mendung dan semakin gelap maka itu menjadi tanda-tanda bahwa hujan akan segera turun, sebaliknya jika cuaca cerah maka tidak akan diprediksikan bahwa akan terjadi hujan. Meskipun dalam kenyataannya bisa saja terjadi suatu kejadian yang sebaliknya, namun tentunya dengan derajat kepastian…..
Peluang (matematika)/ probabilitas
Peluang atau kebolehjadian atau dikenal juga sebagai probabilitas adalah cara untuk mengungkapkan pengetahuan atau kepercayaan bahwa suatu kejadian akan berlaku atau telah terjadi. Konsep ini telah dirumuskan dengan lebih ketat dalam matematika, dan kemudian digunakan secara lebih luas dalam tidak hanya dalam matematika atau statistika, tapi juga keuangan, sains dan filsafat.
[sunting] Konsep matematika
Probabilitas suatu kejadian adalah angka yang menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Nilainya di antara 0 dan 1. Kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 1 adalah kejadian yang pasti terjadi atau sesuatu yang telah terjadi[1]. Misalnya matahari yang masih terbit di timur sampai sekarang. Sedangkan suatu kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 0 adalah kejadian yang mustahil atau tidak mungkin terjadi. Misalnya seekor kambing melahirkan seekor sapi.
Probabilitas/Peluang suatu kejadian A terjadi dilambangkan dengan notasi P(A), p(A), atau Pr(A). Sebaliknya, probabilitas [bukan A] atau komplemen A, atau probabilitas suatu kejadian A tidak akan terjadi, adalah 1-P(A). Sebagai contoh, peluang untuk tidak munculnya mata dadu enam bila sebuah dadu bersisi enam digulirkan adalah 1-\frac{1}{6} = \frac{5}{6}.
Peluang atau kebolehjadian atau dikenal juga sebagai probabilitas adalah cara untuk mengungkapkan pengetahuan atau kepercayaan bahwa suatu kejadian akan berlaku atau telah terjadi. Konsep ini telah dirumuskan dengan lebih ketat dalam matematika, dan kemudian digunakan secara lebih luas dalam tidak hanya dalam matematika atau statistika, tapi juga keuangan, sains dan filsafat.
[sunting] Konsep matematika
Probabilitas suatu kejadian adalah angka yang menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Nilainya di antara 0 dan 1. Kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 1 adalah kejadian yang pasti terjadi atau sesuatu yang telah terjadi[1]. Misalnya matahari yang masih terbit di timur sampai sekarang. Sedangkan suatu kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 0 adalah kejadian yang mustahil atau tidak mungkin terjadi. Misalnya seekor kambing melahirkan seekor sapi.
Probabilitas/Peluang suatu kejadian A terjadi dilambangkan dengan notasi P(A), p(A), atau Pr(A). Sebaliknya, probabilitas [bukan A] atau komplemen A, atau probabilitas suatu kejadian A tidak akan terjadi, adalah 1-P(A). Sebagai contoh, peluang untuk tidak munculnya mata dadu enam bila sebuah dadu bersisi enam digulirkan adalah 1-\frac{1}{6} = \frac{5}{6}.
KONSEP KEPASTIAN DAN PROBABILITAS DALAM HUKUM ISLAM Oleh : Zulhery Artha, S.Ag. (Hakim pada Pengadilan Agama Natuna) I
Salah satu isyu terpenting dalam Epistemologi hukum Islam adalah pertanyaan mengenai kepastian yang diperoleh tentang hukum itu (problem kepastian dan probabilitas). Isyu lainnya dapat berupa pertanyaan tentang bagaimana cara mengenali hukum syar‟i itu (problem sumber hukum).1 Problem kepastian dan probabilitas ini menjadi penting karena agama sebagai ajaran suci tidak layak untuk menjadi objek spekulasi dan dugaan-dugaan. Bahkan ulama sepakat menganggap bahwa pengetahuan (al-‘ilm) harus menjadi landasan bagi semua pernyataan dan penegasan.2
1 Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam: Probabilitas dan Kepastian” dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994, hal. 74. 2 Ibid., hal. 76. 3 Ibid., hal. 76-77. 4 Q.S.: al-Isra‟ (17): 36.
Studi Syamsul Anwar menemukan fakta, bahwa berkenaan dengan konsep inilah, para ahli Ushul Fiqh memunculkan istilah al-‘Ilm, al-Qat’, al-Yaqin, dan az-Zann. Tiga yang pertama sering digunakan sebagai sinonim, dan dipakai dalam pengertian keyakinan yang sesuai dengan kenyataan objek dan menimbulkan kepastian, tidak ada tempat bagi keragu-raguan sedikitpun. Sedang az-Zann adalah dugaan kuat yang mempunyai peluang yang amat besar untuk benar, kita mempunyai cukup alasan untuk menerima kebenarannya, tingkat probabilitasnya untuk benar adalah cukup tinggi.3 II
Allah Swt. melarang hamba-Nya (termasuk para hakim) untuk memutuskan, atau memberikan pernyataan, atau mengikuti sesuatu tanpa landasan bukti (pengetahuan) yang pasti (al-‘ilm), ini berlaku bagi urusan dunia dan apalgi, masalah-masalah keagamaan, sebagaimana firman suci-Nya4 : 2 Pengetahuan tentang kaidah-kaidah interpretasi adalah penting untuk memahami secara tepat suatu nash hukum. Karena kalau tidak, maka tiada hukum yang dapat dideduksi darinya, terutama bila nash itu bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri.5 Salah satu teori pokok yang dikembangkan ahli Ushul fiqh menanggapi doktrin tersebut, adalah konsep al-Qat‟ dan az-Zann.6
5 Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 7 6 Alyasa‟ Abu Bakar, “Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya”, dalam Edi Rudiana Arif, dkk. (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, hal. 73. 7 Muhammad Ibnu Idris asy-Syafi‟i, Ar-Risalah, edisi Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah Dar at-Turas, 1979, hal. 460-477. 8 Ibid.
Imam asy-Syafi‟i adalah penggagas pertama konsep al-Qat’ dan az-Zann. Tokoh besar ini menghubungkannya dengan penetapan dalil yang menghasilkan ihathah (kepastian) dan dalil yang tidak menghasilkan ihathah.7
Sebenarnya, dalam masterpiece-nya, ar-Risalah, Asy-Syafi‟i hanya menggunakan istilah al-Bayan, zahir, mafhum, dan lain-lain untuk kategorisasi itu. Tapi ia telah menampung ide al-qat‟i dan az-zanni dalam pembicaraan kabar ahad dan al-Qiyas. Bila al-Quran dan hadis muttawatir menghasilkan kebnaran lahir batin, maka kabar ahad hanya mengahsilkan kebenaran pada lahirnya saja. Mengingkari al-Quran dan hadis muttawatir berarti keluar dari Islam, dan harus bertobat untuk dapat menjadi muslim kembali. Sedang mengingkari kabar ahad tidak membuat seorang muslim keluar dari Islam. Walau begitu, Asy-Syafi‟i mengatakan bahwa dalil berupa kabar ahad yang diriwayatkan melalui jalur tunggal dan mengandung kemungkinan-kemungkinan, mengikat bagi semua orang dan tidak boleh ditolak. Kabar ahad disamakan dengan nilai kebenaran yang dikandung oleh putusan hakim berdasarkan keterangan du aorang saksi, kebenarannya pada lahir saja, karena mungkin saja para saksi itu berbohong. Termasuk kebenaran pada lahirnya saja, yaitu sepanjang yang dapat dicapai dengan bukti konkrit yang ada, adalah kebenaran yang dihasilkan oleh al-Qiyas.8
Secara bahasa, al-qat‟ adalah derivat dari qata’a. Sebuah Kamus mengartikannya sebagai “menunjukkan atas yang putus (sarm)”, dan sebagai “ibanah 3 syai’ min syai’ (menjelaskan sesuatu atas sesuatu)”.9 Perkataan yang ptutus berarti pasti. Dalam perkembangannya, kata al-‘ilm, al-yaqin, dan al-Qat’ menjadi tiga istilah yang dipakai secara sinonim oleh para ahli Ushul Fiqh, yaitu untuk menunjuk kepastian. Oleh Kamali, al-Qat’ diartikan sebagai yang defenitif, sebagai lawan kata dari az-Zann, yang spekulatif.10
9 Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lugah, edisi Syihabuddin Abu „Amr, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hal.893. 10 Muhammad Hashim Kamali, Op.cit. 11 Q.S. al-Baqarah (2): 249. 12 Ahmad bin Faris bin Zakaria, Ibid., hal.641. 13 Muhammad Hashim Kamali, Ibid. 14 Syamsul Anwar, Op.cit., hal.76. 15 Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, 1994, hal.30. 16 Masdar Farid Mas‟udi, “Mamahamai Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”, dalam Abdur rauf Saimima (ed.), Reaktualisasi ajaran islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal.182. 17 Q.S. Ali Imran (3) : 7.
Sedangkan az-Zann adalah bentuk mashdar dari zanna, yang menunjukkan dua arti: yaqin dan syakk. Diartikan yaqin karena kata “yazunnu” dalam firman Allah Swt.11 : sering ditafsirkan sebagai (yuqinnun).
Dan disebut sebagai syakk, karena kata az-zinnah dipakai dalam arti at-tihamah (bingung) yang sama maksudnya dengan syakk.12 Bila Kamali13 menyebut az-zann sebagai spekulatif, maka Peters, seperti dikutip oleh Syamsul Anwar,14 menyamakannya dengan asumsi.
Sebagai sebuah konsep, al-Qat‟ dan az-zann didefenisikan dalam dua segi pandang, segi dalalah (penunjukan) dan segi wurud (kedatangan) suatu dalil. Dari keduanya dikenal istilah qat’iy al-wurud dan zanniy al-wurud, serta qat’iy ad-dalalah dan zanniy ad-dalalah.15 Bagi Masdar Farid Mas‟udi, kategorisasi ini berfungsi sebagai pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap wahyu, yang berarti terhadap agama secara keseluruhan.16
Konsep di atas tidak terdapat dalam al-Quran dan Hadis nabi. Hanya saja ditemui suatu konsep yang mirip dengan dikotomi al-Qat’ dan az-Zann, yaitu al-Muhkam dan al-Mutasyabbih yang mensifati ayat-ayat al-Quran, sebagaimana ayat 7 dari surah Ali Imran 17: 4 Baik al-Qat’ dan az-Zann, maupun al-Muhkam dan al-Mutasyabbih, semuanya adalah konsep yang berangkat dari penilaian terhadap teks formal ajaran, yaitu dipengaruhi oleh pandangan semantik, bukan dari sudut ide atau substansi yang dipesankannya. Justeru persamaan itulah yang menimbulkan dugaan bahwa asal mula konsep al-Qat’ dan az-Zann adalah konsep al-Muhkam dan al-Mutasyabbih. Masdar Farid Mas‟udi berasumsi bahwa upaya mengintrodusir al-Qat’ dan az-Zann adalah kecerdikan ulama Usul Fiqh untuk membebaskan diri dari kontroversi yang cukup seru di seputar Mutasyabihat, yang memperdebatkan penafsiran terhadap ayat-ayat berungkapan simbolik, seperti: Alif- Lam-Ra, Alif-Lam-Mim, dan lain-lain, atau ungkapan-ungkapan seperti Yadullah yang beragam penafsirannya, apakah tangan Allah, atau kekuasaan Allah. Maka Masdar mengira, bahwa dengan berlindung di balik istilah zanni, bukan Mutasyabbihat, para ulama Usul fiqh merasa aman dari gugatan tentang boleh tidaknya mereka mengotak-atik pengertian ayat-ayat tertentu yang dari sudut bahasa (semnatik), tidak cukup defenitif.18
18 Masdar Farid Mas‟udi, Ibid., hal.182. 19 Syamsul Anwar, Op.cit., hal. 79.
Tanpa mempermasalahkan al-Muhkam dan al-Mutasyabbih, Syamsul Anwar menganggap bahwa pembedaan pengetahuan hukum menjadi hukum qat’i dan zanni bukanlah pembedaan secara kategoris, melainkan lebih pada penjenjangan tingkat-tingkat kepatian dan probabilitas dalam pengetahuan itu. Menurut Syamsul, Dalam epistemologi, ada prinsip Koroborosi Induktif, di mana bukti tidak menelorkan konklusi yang pasti dalam pengertian argumen deduktif, melainkan lebih memberikan dukungan dan penguatan terhadapnya, atau dengan kata lain kebenaran premis tidak menghasilkan kebenaran secara demonstratif, tetapi memberikan alasan yang cukup untuk mempercayainya. Pengertian tentang Koroborasi Induktif ini memainkan peran yang cukup berarti dalam elaborasi banyak konsep penting pada teori hukum Islam. Sejauh mana kepastian (ke-qat‟i-an) yang diperoleh tentang suatu hukum syar‟i yang di-istimbath (ditemukan) sangat tergantung pada sejauh mana keberhasilan mengumpulkan potongan-potongan bukti (dalil) yang memberikan dukungan atau konfirmasi kepada hukum bersangkutan.19 5
III
Pengertian Qat’i dan Zanni di kalangan ulama Usul Fiqh tidak banyak berbeda dari pengertian yang dibawakan oleh Asy-Syafi‟i. Qat’i al-Wurud nya kabar mutawattir tidak banyak dipersoalkan ulama. Sedang kabar ahad hanya menghasilkan Zann (persangkaan, asumsi) menurut al-Qarafi20 dan al-Ansari,21 tetapi bisa diabsahkan dengan persyaratan tertentu, yaitu apabila umat sepakat untuk menerima dan melaksanakannya.22
20 Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fusul, edisi Taha Abdurrauf Saad, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., jilid II, hal. 108. 21 Zakaria al-Ansari, Ghayat al-Wusul Syarh Lubb al-Usul, Surabaya: Ahmad, t.t., hal.96. 22 Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki, Usul Mazahib al-Imam Ahmad, Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, 1980, hal. 248. 23 Abu Ishak Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H., jilid III, hal. 88. 24 Mohammad Hashim Kamali, Op.cit., hal. 24 dan 108. 25 Mustafa Said Khinn, asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, t.t.p. : Muassasah ar-Risalah, t.t. hal. 207. 26 Ibid., hal. 99.
Sedangkan dalil Amm diperdebatkan dilalah nya, apakah qat’i atau zanni. Bagi imam asy-Syafi‟i, imam Malik, imam Ibnu Hanbal dan sebagian Hanafiyah, Amm itu zanni, hingga ada jargon “ma min amin illa khussisa”.23 Sedangkan bagi mayoritas Hanafiyah, seperti Abu al-Hasan al-Kharki dan Abu Bakar al-Jassas, Amm itu qat’i selama belum di takhsis, bila ada takhsis maka dianggap zanni.24 Ulama Malikiyah menganggap kabar ahad bisa men-takhsis dalil Amm, bila dalil Amm itu berlawanan dengan amal ahli Madinah.25 Sedangkan mengenai dalil Khass, ulama sepakat bahwa dalil Khass adalah qat’i ad-dalalah.26 Disadari taupun tidak, pemakaian konsep-konsep Mutawattir, Ijma’, Qiyas, dan beberapa lainnya telah memperlihatkan penggunaan prinsip koroborasi induktif oleh para ulama Usul Fiqh klasik. Penegasan pengertian koroborasi induktif, secara jelas dan sadar melebihi karya-karya Usul Fiqh lainnya, baru ditemui dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam karya Imam Asy-Syatibi (w. 790/1388). 6 IV Bila di masa klasik konsep al-Qat’ dan az-Zann merupakan konsepsi umum yang wajar dipakai dan dianggap final, maka di masa modern konsep tersebut mulai direkonsepsi.
Gugatan terhadap konsep al-Qat’ dan az-Zann di zaman modern lebih banyak didasarkan pada penolakan terhadap cara berpijak atas teks (simbol) yang mengabaikan substansi dari suatu ayat. Masdar F. Masudi menganggap dengan hanya berpijak pad teks formal, konsep al-Qat’ dan az-Zann hanya akan menghasilkan kekakuan dan tidak bisa operasional menghadapi persoalan-persoalan dunia modern. Seharusnya, menurut Masdar, yang dianggap Qat’i adalah dalil-dalil yang berisi prinsip-prinsip dasar yang kebenarannya bersifat universal, seperti prinsip tauhid, keadilan, persamaan hak atas dasar kemanusiaan, kesetaraan manusia di depan Tuhan, musyawarah dan lain-lain. Sedang yang zanni adalah dalil-dalil yang membicarakan soal-soal Ontologis dan Aksiologis dari nilai dasar yang universal.27
27 Masdar Farid. Masudi, Agama Keadilan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. ke-3, 1993, hal.20-21. 28 Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, cet. ke-4, 1994, hal. 30-31. 29 An-Nisa‟ (4) : 7
Ketidaksetujuan terhadap batasan al-Qat’ dan az-Zann diungkapkan pula oleh Taufik Adnan Amal, yang menganggap teori itu mencerminkan kebingungan serta kesewenangan ulama dalam memahami pesan-pesan al-Quran. Dikotomi itu dianggapnya sangat subyektif bergantung selera si penafsir. Mengapa ayat yang mengatur hukuman bagi tindak kejahatan terhadap kemanusiaan secara umum tidak digubris ? Pembahasan-pembahasan semantik mengenai bentuk lahiriyah ayat-ayat ahkam telah menutupi tinjauan atas ajaran-ajaran moral al-Quran tentang persamaan, keadilan sosial ekonomi dan lain-lainnya.28
Usulan perubahan juga disampaikan oleh Kassim Ahmad dan Ibrahim hosen. Yang pertama ini, seperti dikutip oleh Zarkasyi Abdussalam dan Syamsul Anwar, lebih memilih ayat mujmal, seperti yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat mereka,29 sebagai aturan yang qat’i yang harus menjadi dasar pokok. Sedangkan ayat mufassar yang 7 terperinci, seperti ayat tentang bagian wanita setengah bagian warisan laki-laki,30 hanyalah contoh penerapan sezaman dari prinsip umum pada ayat mujmal di atas, jadi boleh saja berubah pemahamannya.31 Sedangkan Hosen membagi nass qat’i ke dalam : fi Jami’ al-Ahwal (berlaku dalam segala kondisi), dan fi Ba’di al-Ahwal (berlaku dalam sebagian kondisi). Contoh bagian pertama adalah bahwa sholat Magrib itu 3 (tiga) rakaat dan Subuh itu 2 (dua) rakaat, keduanya tidak bisa di qasr. Ini tidak bisa di-ijtihad-kan lagi. Contoh bagian kedua adalah ayat potong tangan bagi pencuri, ini bisa ditinggalkan karena taubat atau dimaafkan.32 Umumnya tuntutan-tuntutan rekonsepsi itu didasrkan pada semnagat reaktualisasi ajaran hukum Islam yang menghendaki tinjauan ulang sifat hukum Islam antara keabadian dan perubahannya.
30 An-Nisa‟ (4) : 11-12 31 Zarkasyi Abdussalam dan Syamsul Anwar, “Metodologi Penelitian dan Pengembangan Ilmu Fiqh”, dalam Asy-Syir’ah No.3, Tahun XV, 1992, hal.5. 32 Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, cet.I, 1995, hal. 274-278. 33 Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Edi Rudiana Arif (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I, 1991, hal. 3. 34 Atho‟ Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 374.
Realitas obyektif menunjukkan fakta bahwa hukum Islam saat ini mengalami proses irrelevansi dan hampir tidak mempunyai hubungan pengaruh dalam kehidupan modern.33 Salah satu penyebabnya adalah bahwa huum islam lebih berat berpihak kepada idealisme, bukan pada realisme konkrit. Akibatnya hukum Islam lebih mengekpresikan hal-hal ideal daripada hal-hal riil, lebih menekankan pada hal-hal maksimal, bukan yang minimal.34 Sampai di sini, tampaklah bahwa para penulis modern lebih banyak mengusulkan rekonsepsi atas al-Qat’ dan az-Zann yang dianut mayoritas ulama Usul Fiqh. Sedangkan prinsip koroborasi induktif yang ditegaskan oleh Asy-Syatibi berpeluang besar sebagai alternatif bagi kebutuhan rekonsepsi. V
Konsep pokok dalam teori umum asy-Syatibi tentang al-Qat’ dan az-Zann adalah kekuatan induktif, tidak hanya dari beberapa kabar yang datang dalam sebuah 8 bentuk verbal yang identik, tetapi beberapa kabar yang biasanya mempunyai makna sama. Dengan kata lain, prinsip kebersamaan tidak selalu dipahami dalam arti formal, yaitu dilekatkan pada ekspresi verbal formal, tetapi dikaitkan kepada makna dan substansi bersama yang meresapi keseluruhan sumber material syari‟ah. Menurut Wael B. Hallaq, Induksi dalam teori ini bukanlah sejumlah besar laporan yang dikaitkan pada suatu isyu partikular, melainkan suatu induksi tematik (istiqra’ ma’nawi) dari semangat dan huruf dari syari‟ah. Dengan demikian adalah keberulangan makan dan tema dalam teks dan konteks-lah yang membawa kepada kepastian.35 Hallaq menulis :
35 Wael B. Hallaq, Ón Inductive Corroboration, Probability and Certainly in Sunni Legal Thought”, dalam Nichollas Her, islamic Law and Jurisprudence, Studies in Honor of Farhat J. Ziadeh, Seattle and London : University of Washington Press, 1990, hal. 26. 36 Ibid., hal. 30.
“The central concept in this general theory was inductive corroboration, not necessarily of reports transmitted in a verbally identical fashion but of reports having in common the same meaning. Shatibi‟s concept of thematic induction (al-istiqra’ ma’nawi) represents an extension of al-tawatur al-ma’nawi; instead of restricting the application of the principle to Prophetic reports, Shatibi utilized it in extracting from the entirety of the shar’i sources a set of principles of universal validity.” 36 Bila dibandingkan dengan konsep al-Qat’ dan az-Zann yang dipahami oleh mayoritas ulama Usul Fiqh, tampaklah kemajuan konsep asy-Syatibi. Menyandarkan pada argumentasi tekstual semata, seperti yang dilakukan mayorita ulam tersebut, akan menghadapi kesulitan yang kompleks. Kritik yang paling lengkap terhadap argumentasi tekstual ini disampikan oleh Hasan Hanafi sebagai berikut :
1. “Teks adalah bukan realitas. Ia hanya deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak bisa digantikannya.
2. Argumentasi teks hanya hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya.
3. Teks bertumpu pada otoritas al-Kitab, bukan otoritas rasio.
4. Teks adalah pembuktian asing, karena ia datang dari luar realitas. Karena itu selalu lebih lemah daripada keyakinan yang berasal dari dalam.
5. Teks selalu terkait dengan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa itu ia tidak bermakna, bisa disalahpahami.
6. Teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Hingga tidak mungkin untuk beriman hanya kepada satu kitab dengan mengingkari yang lainnya.
7. Teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung rugi. Di sini, yang lebih menjadi penentu adalah kepentingan penafsir, bukanlah teks.
8. Posisi sosial seorang penafsir menjadi dasar pilihannya terhadap teks, sehingga akan mudah terjadi pertikaian antara penafsir.
9
9. Teks hanya berorientasi kepada keimanan, emosi keagamaan, dan pemanis apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarah pada rasio dan realitas keseharian mereka.
10. Metode teks lebih cocok untuk nasehat daripada untuk pembuktian.
11. Kalaupun mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tetapi tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif.” 37
37 Hassan Hanafi, ”Apa Arti Kiri Islam”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, alih bahasa M. Imam Azis dan Jadul Maula, Yogyakarta: LkiS, 1994, hal. 119-120. 38 Asy-Syatibi, Ibid., Jilid I, hal. 38.
Asy-Syatibi jelas mengkritik argumentasi tekstual yang dilakukan Jumhur Ulama. Karena pengambilan dalil hanya dengan ayat dan hadis secara individu, akibatnya sering terjadi kontradiksi antar nass. Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Dengan memakai metode ijtima’ (induksi tematik= istiqra’ ma’nawi) kesulitan ini bisa dihindari.38 Akan tetapi menurut penulis, prinsip induksi yang dipakai asy-Syatibi juga tidak terlepas dari problem :
1. Adanya kemungkinan kesalahan penyimpulan dari beberapa premis, meskipun premisnya semua benar;
2. Berapa jumlah premis yang harus dicapai untuk menghasilkan kebenaran, belum ada kepastian. Asy-Syatibi juga menerima generalisasi sebagai kesimpulan, meskipun tidak ada menerima sebuah survei yang lengkap dari semua premis;
3. Induksi tidak menghasilkan kepatian, tetapi probabilitas, karena tidak smeua hasil penyimpulan induksi, meskipun benar, menjamin kepastian kebenarannya. Keberannya relatif;
4. Suatu kepastian yang dihasilkan bertolak dari observasi. Sedang observasi bisa saja subjektif.
Lepas dari itu, terhadap teks-teks al-Quran, teori asy-Syatibi dari segi dalalahnya lebih dekat dengan induksi yang lengkap (complete induction), karena jumlah premisnya dapat diketahui, di mana teks al-Qur‟an diketahui jumlah dan batasnya. Dalam logika, induksi yang lengkap tersebut merupakan induksi yang paling ideal. Wallahu a’lam. 10 Beberapa Referensi : Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki, Usul Mazahib al-Imam Ahmad, Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, 1980. Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Edi Rudiana Arif (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I, 1991. Abu Ishak Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H. Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lugah, edisi Syihabuddin Abu „Amr, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Alyasa‟ Abu Bakar, “Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya”, dalam Edi Rudiana Arif, dkk. (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991. Atho‟ Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995. Hassan Hanafi, ”Apa Arti Kiri Islam”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, alih bahasa M. Imam Azis dan Jadul Maula, Yogyakarta: LkiS, 1994. Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, cet.I, 1995. Masdar Farid Mas‟udi, “Memahamai Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”, dalam Abdur rauf Saimima (ed.), Reaktualisasi ajaran islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988. ---------------------------, Agama Keadilan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. ke-3, 1993. Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Muhammad Ibnu Idris asy-Syafi‟i, Ar-Risalah, edisi Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah Dar at-Turas, 1979. Mustafa Said Khinn, asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, t.t.p. : Muassasah ar-Risalah, t.t. Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam: Probabilitas dan Kepastian” dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994. Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fusul, edisi Taha Abdurrauf Saad, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, cet. ke-4, 1994. Wael B. Hallaq, Ón Inductive Corroboration, Probability and Certainly in Sunni Legal Thought”, dalam Nichollas Her, islamic Law and Jurisprudence, Studies in Honor of Farhat J. Ziadeh, Seattle and London : University of Washington Press, 1990. Zakaria al-Ansari, Ghayat al-Wusul Syarh Lubb al-Usul, Surabaya: Ahmad, t.t. 11
Zarkasyi Abdussalam dan Syamsul Anwar, “Metodologi Penelitian dan Pengembangan Ilmu Fiqh”, dalam Asy-Syir’ah No.3, Tahun XV, 1992.
No comments:
Post a Comment